BAB
1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Hukum perjanjian dalam Burgelij Wetbook (BW) menganut asas
konsensualisme[1].
Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan
dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi
dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu[2].
Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu
pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima
kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya,
sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak
yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya[3].
Lahirnya suatu perjanjian terjadi
apabila ada kata sepakat dan pernyataan sebelah menyebelah, pernyataan sepakat
dalam hal ini adalah mengenai hal-hal yang pokok baik berbentuk lisan ataupun
tulisan sedangkan pernyataan sebelah menyebelah terjadi apabila satu pihak yang
menawarkan menyatakan tentang perjanjian dan pihak lawan setuju tentang apa
yang dinyatakan sebelumnya[4]
”Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”[5].
Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan memenuhi persyaratan ini,
masyarakat dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata disebut
sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah
apabila ada kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian[6].
Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, sehingga
perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka
perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan
kewajiban di antara pihak-pihak tersebut[7].
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan asas
kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat perjanjian.
Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan, yaitu suatu
penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang
akan diperjanjikan.[8]Dengan
demikian asas itikad baik mengandung pengertian, bahwa kebebasan
suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya
tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.[9]
Hukum perjanjian di Indonesia
mempergunakan sistem terbuka artinya adanya kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan
tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan[10].
Selama perkembangannya Hukum Perjanjian Indonesia mengalami banyak perubahan,
antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif, keputusan badan
eksekutif serta pengaruh dari globalisasi[11].
Perkembangan dan kemajuan
perekonomian di Indonesia saat ini banyak transaksi-transaksi jenis baru mulai
diterapkan. Praktek perjanjian dalam perkembangannya dilaksanakan suatu bentuk
kontrak yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir [12].
Perjanjian
semacam ini dikenal dengan istilah perjanjian baku.
Penggunaan
kontrak baku dewasa ini menunjukkan satu sisi dominasi ekonomi modern oleh
badan usaha atau perusahaan. Perusahaan-perusahaan menciptakan bentuk kontrak
sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar eksternal mereka[13],
dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh
atau sebagian besar klausul perjanjian secara sepihak. Pihak konsumen tidak
memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian.
Dalam praktek
bisnis , kontrak baku diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan bisnis dan
mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku bisnis, oleh
karena itu tidak mengherankan apabila dalam praktek bisnis ditemukan begitu
banyak perjanjian baku, tidak terkecuali pada praktek perjanjian sewa beli kendaraan
bermotor. Dalam BW Belanda, sewa-beli dikontruksikan sebagai jual-beli dengan
cicilan, dengan penangguhan pemindahan hak miliknya.[14]
Perjanjian sewa
beli kendaraan bermotor merupakan perjannjian yang tidak disebutkan dalam
KUHPredata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) walaupun demikian syarat
sahnya perjanjian serta asas-asas hukum perjanjian dalam KUHPerdata tetap harus
digunakan dalam membuat suatu perjanjian sehingga dua belah pihak tunduk pada
kesepakatan yang telah disepakati sebagai undang-undang bagi mereka.
Perjanjian sewa
beli merupakan perjanjian yang tergolong kedalam perjanjian-perjanjian tidak
bernama diluar KUHPerdata, dalam praktek bisnis di Indonesia jenis perjanjian
sewa beli berlaku dan diakui oleh masyarakat dan telah menjadi yusriprudensi
meskipun belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-undang mengenai
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.
Kendaraan bermotor
merupakan sarana transportasi yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat, sedemikian
urgennya sepeda motor ini menyebabkan permintaan masyarakat terhadap kendaraan
bermotor relatif tinggi, permintaan kendaraan bermotor yang tinggi tentu saja
memicu meningkatnya harga penjualan oleh
palaku usaha. walaupun demikian pelaku usaha mencoba untuk menyiasati dan
memanfaatkan keadaan ini dengan memberikan kemudahan bagi konsumen untuk
membelinya, yaitu dengan fasilitas atau dengan pelayanan pembelian secara
kredit.
Pelayanan pembelian
secara kredit yang ditawarkan oleh pelaku usaha terhadap konsumen,
mempergunakan perjanjian baku (perjanjian standar) untuk mengikat kedua belah
pihak dalam perjanjian. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis yang
dibuat hanya oleh satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan perjanjian sudah
dibuat dalam bentuk formulir oleh salah satu pihak, ketika kontrak ditanda
tangani umumnya para pihak hanya mengisi data-data informasi tertentu saja
dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, pihak lain
tidak punya kesempatan untuk melakukan negosiasi atau mengubah klausula yang
sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga kontrak baku terlihat
sangat berat sebelah.[15]
Perjanjian baku
juga memiliki pengertian sebagai suatu perjanjian yang hampir
klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.[16].
Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan
klausul-klausulnya.[17]
Penggunaan
kontrak baku dalam dunia bisnis dewasa ini menimbulkan permasalahan hukum yang
memerlukan pemecahan. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi didasarkan
pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan yang
seimbang. Kesepakatan yang didapat dalam perjanjianitu merupakan hasil
kesepakatan di antara para pihak proses semacam itu tidak ditemukan dalam
perjanjian baku,hampir tidak ada kebebasan dalam menentukan isi perjanjian
dalam proses kesepakatan. Isi atau syarat-syarat perjanjian telah ditentukan
secara sepihak oleh pengusaha[18].
Praktik pembuatan
perjanjian baku di satu sisi sangat menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain
menimbulkan kerugian bagi konsumen. Permasalahan tersebut merupakan persoalan
yang klasik dalam suatu sistem ekonomi, terutama pada negara-negara berkembang,
karena perlindungan terhadap konsumen tidak menjadi prioritas utama dalam dunia
bisnis, melainkan keuntungan yang diperoleh oleh produsen atau pelaku usaha
dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.
Secara umum,
kedudukan konsumen dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor berada posisi
yang lemah dibandingkan pihak pelaku usaha, baik dari segi sosial ekonomi,
pengetahuan teknis maupun dalam mengambil upaya hukum melalui institusi
pengadilan, sehingga konsumen sering tidak menyadari haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha. Apabila konsumen mengetahui hal tersebut sekalipun, konsumen
enggan untuk melakukan tindakan upaya hukum.
Pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang ditetapkan sepihak menunjukkan bahwa dalam perjanjian sewa beli
kendaraan bermotor dalam praktek memiliki ciri tersendiri, yaitu upaya memperkuat
hak penjual dari berbagai kemungkinan yang terburuk, selama masa kontrak atau
sebelum waktu pelunasan angsuran, untuk menjamin kepentingan penjual. Hal ini
yang membuat pembuatan perjanjian baku yang dipergunakan dalam perjanjian sewa
beli kendaraan bermotor sering merupakan penyebab utama timbulnya masalah di pihak pembeli dari pada
penjual. Adanya salah satu contoh persoalan yang
timbul dalam
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor adalah klausula-klausula yang
memberikan hak kepada penjual untuk menuntut
dan penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya jika terjadi
persoalan hukum.
Pembuatan
perjanjian baku yang diteliti dalam Penelitian ini adalah pembuatan perjanjian
baku terhadap perjanjian terhadap sewa
beli kendaraan ber motor yang ternyata banyak dipakai dalam praktek.
Penerapan perjanjian baku ini sejak awal
kelahirannya hingga kini menimbulkan kontroversi baik menyangkut keberadaan dan
keabsahan perjanjian baku. Perdebatan tentang sah atau tidaknya suatu perikatan
yang timbul dari suatu perjanjian standar (standardized contract) untuk
mengikat ataupun berlaku sebagai hukum para pihak yang membuat perjanjian sudah
menjadi persoalan lama kelanjutan dari persoalan yang telah muncul di
negara-negara yang telah lebih dahulu menghadapi permasalahan penggunaan pola
perjanjian standar tersebut, sebagai reaksi atau upaya masyarakat hukum untuk
mencari ukuran keadilan, khususnya bagi pihak pengguna barang dan jasa
(konsumen) yang lebih cenderung didudukkan pada posisi yang lemah.[19]
Pembuatan perjajian baku atau standar
dalam perjanjan sewa beli kendaraan bermotor tidak dilarang, namun tidak boleh
bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Hal ini
menunjukkan bahwa perlu adanya hukum yang tegas mengenai pembuatan perjanjian
baku dan yang mencantumkan klausul-klausul baku yang tidak adil yang sering
digunakan oleh pelaku usaha untuk menekan konsumen tersebut, asas kebebasan
berkontrak serta konsekuensi mengikatnya kesepakatan hukum bagi para pihak
(pacta sunt servanda)[20].
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur
perjanjian baku. Kini dengan telah berlakunya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) walaupun Undang-undang ini tidak merumuskan definisi tentang
perjanjian baku akan tetapi Undang-undang perlindungan konsumen merumuskan
klausula-klausula perjanjian baku dan masalah keabsahan pembuatan perjanjian
baku mulai terjawab. Masyarakat
menginginkan perjanjian baku tetap menjunjung asas-asas universal yang berlaku
dalam hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan memilih
hukum yang berlaku dan asas kebebasan menentukan yurisdiksi.
Penjelasan pasal 18 ayat 1
Undang-undang nomor 8 tahun 1999, memberikan pembatasan-pembatasan pada
perjanjian baku yang justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan
berkontrak yang berlaku secara universal. Undang-undang
perlindungan konsumen juga telah menegaskan di dalam pasal dua (2) mengenai
asas perlindungan konsumen sebagai landasan untuk mewujudkan perlindungan bagi
konsumen termasuk dalam penerapan perjanjian baku.
Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 18 ayat 2
disebutkan bahwa "Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
mengambil tindakan sepihak atas barang yang dibeli konsumen secara angsuran".
Klausula baku seperti ini adalah batal demi hukum.
Pembuatan perjanjian baku dengan
mencantumkan klausula baku yang dilarang menurut Undang-undang Perlindungan
Konsumen dinyatakan batal demi hukum, dengan demikian perjanjian dengan klausula baku tidak
dipersoalkan lagi sah tidaknya perjanjian tersebut, tetapi apakah isi
perjanjian itu ada yang memuat klausula yang dilarang oleh Undang-undang
Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan permasalahan diatas maka
penulis tertarik mengadakan penelitian tentang Pembuatan Perjanjian Baku Terhadap Perjanjian Sewa Beli Motor Setelah
Berlakunya Undang-undang No. 8 tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana pembuatan perjanjian baku
terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2.
Upaya perlindungan hukum bagi
konsumen dalam pembuatan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor sesuai Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
3.
Tujauan penelitian
a.
Untuk
mengetahui bagaimanakah pembuatan
perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen
b.
Untuk
mengetahui upaya perlidungan hukum bagi
konsumen dalam pembuatan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
4.
Manfaat penelitan
a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis
tentang pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa
beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
b. Sebagai bahan kepustakaan atau literatur pendukung bagi
peneliti yang dapat diaplikasikan untuk masa depan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer) dalam Buku ke III Bab II pasal 1313 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”[21].
Perjanjian
adalah satu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksankan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[22].
Perjanjian juga merupakan peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal[23]
Dengan
demikian, dalam perjanjian para pihak yang melakukan kontrak memiliki beberapa
kehendak yaitu :[24]
1) kebutuhan terhadap janji atau janji-janji;
2) kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih
pihak dalam
suatu
perjanjian;
3) kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk
kewajiban dan
4) kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakan hukum.
Asas-asas yang terkandung
dalam perjanjian antara lain adalah sebagai berikut :[25]
a. Asas Kebebasan Berkontrak (sistem terbuka)
Asas kebebasan berkontrak, tidak berdiri sendiri, berada dalam satu
sistem utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya pasal
1320, 1335, 1337, 1338, 1339 dan 1347. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian menganut sistem terbuka, artinya Kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian , kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin
membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari
perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian,
kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, kebebasan untuk menerima
atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend
optional). Sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem
terbuka juga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus
yang diatur dalam Undang-Undang hanyalah perjanjian-perjanjian yang telah
dikenal umum di dalam masyarakat pada waktu KUH.Perdata dibentuk. Contoh,
Undang-Undang hanya mengatur perjanjian jual beli dari sewa menyewa, namun
dalam praktik, ada perjanjian bentuk campuran yang timbul karena pembeli tidak
mampu membayar harga barang sekaligus, yang dinamakan sewa beli.
b. Asas Konsensualitas (kesepakatan)
Asas
ini menyatakan bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat mengikat
sejak
tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai
obyek
perjanjian. Di sini telah dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan
kewajiban
dari masing-masing pihak. Sebagai contoh adalah transaksi jual
beli.
Perjanjian telah timbul sejak penjual melakukan penawaran atas suatu
barang
dan penawaran itu kemudian disetujui oleh pembeli.
c. Asas Itikad Baik (kepribadian)
Asas
itikad baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3).
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik
bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal pelaksanaan
dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak, sebab unsur “itikad
baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup dari Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut.
d. Asas Pelengkap
Pasal-Pasal
dalam Hukum Perjanjian dikatakan sebagai hukum pelengkap, karena pasal-pasal
ini melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara
tidak
lengkap. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara
terperinci semua persoalan yang berkaitan dengan perjanjian
itu.
Sebagai contoh : dalam perjanjian jual beli cukup apabila barang dan harganya
telah disetujui. Mengenai dimana barang diserahkan, siapa yang harus memikul
biaya pengantaran barang dan lain-lain, kadang tidak diperhitungkan dalam
perjanjian.
B.
Tinjauan
Umum Tentang Perjanjian Sewa Beli
Perjanjian sewa beli dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah “Huurkoop”
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “Hire Purchase” yang artinya suatu ciptaan praktek (kebiasaan) yang
sudah diakui secara sah oleh yurisprudensi.
Praktek perjanjian sewa beli
diperbolehkan, karena hukum perjanjian Indnesia dalam KUHPerdata menganut
sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338
ayat I KUHPerdata. Artinya ornag diperkenankan untuk membuat perjanjian baik
yang dalam Undang-undang maupun yang sama sekali belum diatur dalam
Undang-undang sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Perjanjian sewa beli adalah persetujuan
sewa menyewa barang dengan akibat bahwa sipenerima barang tidak menjadi pemilik
melainkan pemakai belaka, baru kalau semua uang sewa telah dibayar berjumlah
sama denga harga pembelian, maka sipenyewa beralih menjadi pembeli barang,
yaitu barang menjadi miliknya.[26]
Hal ini merupakan bahwa dimana selama harga barang belum dibayar lunas,
sipembeli sebagai penyewa dahulu dari barang yang dibelinya.[27]
Dasar hukum perjanjian sewa beli di
Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.
34/KPII/1980 tanggal 1 Februari 1980 dihapuskan berdasarkan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 21/M-DAG/PER/10/2005 Tentang pencabutan
beberapa perizinan dan Pendaftaran dibidang Perdagangan. Dasar hukum
selanjutnya yang mengatur pernajian sewa beli adalah KUHPerdata yang terdapat
dalam pasal 1338 ayat 1 yang memperbolehkan membuat perjanjian jenis baru
asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Sewa beli sebagai pranata hukum
perjanjian yang telah diakui pula oleh yurisprudensi, antara lain adalah:
1.
Putusan Pengadilan Tinggi surabaya No. 1741/K SIP/1957 yang merupakan
peletak dasar pendangan atas lembaga sewa beli sebagai salah satu bentuk jual
beli.
2.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1243 K/Pdt/1983 yang memberikan kaidah
meskipun sewa beli tidak ada dalam KUHPerdata sebagai acuan pelaksanaannya.
3.
Yurisprudensi M.A No. 935 K/Pdt/1985 yang memberikan kaidah bahwa
meskipun dalam perjanjian sewa beli telah ada klausula penundaaan peralihan
namun demikian karena tergugat telah membayar lima puluh persen (50%)
angsurannya maka barang tersebut telah menjadi milik pembeli sewa sehingga
tidak dapat ditarik kembali oleh penjual.
C.Tinjaun
Umum Tentang Perjanjian Baku.
Pengertian baku adalah
patokan atau ukuran[28],
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman
bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha disebut
perjanjian baku.[29]
Perjanjian baku adalah
kontrak ( perjanjian) yang hampir seluruh klausulanya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain tidak punya peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan yang belum dibakukan hanyalah bebrpa hal saja, misalnnya
menyangkut, jenis, harga, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang
spesifik dari obyek yang diperjanjikan.[30]
Pembuatan perjanjian baku
oleh pihak penjual selalu berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak pembeli
berada dalam posisi yang lemah, sementara pihak pembeli dihadapkan pada dua
pilihan yaitu:[31]
a.
Jika pihak
pembeli membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka pembeli
dapat menyetujui perjanjian baku yang diberikan oleh pihak penjual.
b.
Jika
pembeli tdak setuju dengan perjanjian baku yang diberikan, maka piha pembeli
jangan membuat perjanjian dengan pihak penjual yang bersangkutan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumen harus menerima segala akibat
yang timbul dari perjanjian baku walaupun akibat tersebut seringkali merugikan
konsumen,[32]
adapun ciri-ciri kontrak baku tersebut adalah :
1.
Bentuknya
tertulis
Kalimat pernyataan
kehendak yang dimuat dalam perjanjiaj baku dibuat secara tertulis berupa akta
otentik ( akta dibawah tangan) dan susunan kata atau kalimat dibuat secara
teratur dan rapi.[33]
2. Format yang dibakukan
Format telah ditentukan
model, rumusan dan ukurannya sehingga tidak dapat diganti karena telah dicetak.[34]
3. Syarat-sayarat kontrak ditentukan pengusaha
Syarat-syarat kontrak
dikuasai oleh pengusaha sehingga syarat kontrak tersebut lebih menguntungkan
pengusaha dari pada konsumen.[35]
4. Konsumen hanya menerima atau menolak
Syarat perjanjian baku
yang diterima dan ditandatangani oleh konsumen menunjukan bahwa konsumen
bersedia memikul tanggung jawab dan konsumen tidak dapat menawar syarat yang
telah dibakukan, apabila kon sumen menawar syarat yang telah baku artinya
konsumen menolak kotrak baku tersebut.[36]
5. Penyelesaian sengketa
Peneyelessaian sengketa
dapat dilakukan melalui arbitrase dan pengadilan jika ada pihak yang
menghendakinya.[37]
6. Kontrak baku menguntungkan pengusaha
Kontrak baku yang telah
ditetapkan secara sepihak akan lebih menguntungkan pihak pengusaha seperti
efisiensi biaya, waktu dan tenaga.[38]
Dalam perjanjian baku
terdapat klausul baku yang merupakan pernyataan yang ditetapkan secara sepihak
oleh salah satu pihak, lazimnya adalah pelaku usaha, sehingga konsumen hanya
mempunyai pilihan menyetujui atau menolaknya (take it or leave it contract).
Penetapan secara sepihak ini
biasanya menimbulkan masalah karena bersifat berat sebelah ini merupakan ciri
khas dari pranata sewa beli yaitu perjanjian bentuk tertulis, meskipun bentuk
tertulis bukanlah syarat untuk sahnya suatu perjanjian sewa beli. Dari bentuk
tertulis ini timbul perjanjian-perjanjian yang bentuk maupun isinya telah
dibuat oleh salah satu pihak. Biasanya pembuat perjanjian baku ini adalah
pelaku usaha/kreditur/penjual yang umumnya mempunyai posisi tawar yang lebih
kuat.
Kreditur atau pelaku usaha
menyodorkan bentuk perjanjian yang berwujud blanko atau formulir dengan
klausul-klausul yang sudah ada, kecuali mengenai harga, cara pembayaran, jangka
waktu, jenis barang, jumlah serta macamnya.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Penelitia
dimulai dari hasrat keingintahuan atau permasalahan, kemudian diteruskan dengan
penelahaan landasan teoritis dalam perpustakaan untuk memperoleh jawaban
sementara, kemudian dirancang dan dilakukan pengumpulan data dan fakta untuk
memperoleh jawaban permasalahan.[39]
Penelitian
merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi,
karena penelitian bertujuan mengungkap kebenaran secara sistematis, metodelogis
dan konsisten, melalui penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.[40]
Penelitian
yang akan digunakan harus disesuaikan dengan cabang ilmu pengetahuan yang
disesuaikan dengan disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang akan diteliti,
dan penerapan metode penelitian hukum akan berbeda dengan penerapan metode
penelitin lainnya.
Metode
adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah sedangkan
penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati tekun dan tuntas terhdapa suatu
gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian dapat dikatak bahwa
metode penelitian adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan
masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[41]
Penelitian
(researh) berarti pencarian kembali
yaitu pencarian pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian
akan digunakan untuk menjawab permasalahan tertentu.[42]
Dengan kata lain penelitian merupakan proses penemuan kebenaran yang dijabarkan
dalam bentuk kegiatan sistematis dan berencana dengan dilandasi oleh metode
ilmiah.[43]
Dengan
demikian untuk mencapai kebenaran ilmiah dalam suatau penelitian maka seseorang
dituntut untuk untuk menguasai dan menerapkan metodelogi dengan baik. Apabila
seseorang tidak menggunakan metodologi maka peneliti tidak akan mampu untuk
menemukan, merumuskan, menganalisa suatu masalah tertentu untuk mengungkapkan
suatu kebenaran. Adapun metode dari penelitian ini terdiri dari
1.
Metode
Pendekatan
Berdasarkan
tujuan dan perumusan masalah dalam penelitian ini maka metode yang digunakan
dalam penelitian adalah metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif
disebut juga penelitian doktrinal, peneltian ini menyatakan bahwa hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku
manusia yang dianggap pantas.[44]
Penelitian
hukum normatif menggunakan sumber data sekunder ( bahan kepustakaan) yaitu
berupa peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan,
teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.
2.
Spesifikasi
Penelitian
Untuk
mendekati permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan spesifikasi
peneltian yang bersifat deskriftip analistis yaitu untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang suatu keadaan dan gejala-gejalanya.[45]
Penelitian
ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara rinci dan sistematis serta
menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian
baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen dan dikaitkan dengan sistematis
dan kosistensi hukum dalam praktek pelaksanaan hukum positif.
3.
Data
dan Sumber Data
dalam
penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan metode
pengumpulan data yang dilakukan secara tidak lansung, dengan penelitian
kepustakaan,[46]
untuk mendapatkan landasan teoritis dan beberapa pendapat maupuntulisan para
ahli. Data sekunder dalam penelitian ini dikelompokan menjadi tiga yaitu:[47]
a. Bahan Hukum Primer, yaitu
bahan yang mengikat, terdiri dari :
1. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan bagi
bahan hukum primer, terdiri dari :
1. Buku-buku
atau hasil penelitian yang membahas tentang pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya UUPK.
2. Majalah -majalah dan
dokumen- dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari : Kamus
hukum, Kamus besar Bahasa Indonesia.
4. Analisis
Data
Setelah data
terkumpul baik data primer maupun data sekunder serta data tersier, lalu data
tersebut diolah dan dipelajari dan dikelompokkan atau
diklasifikasikan sesuai dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang sederhana dan
sistematis. Selanjutnya data tersebut dianalisa dan dibahas lagi serta
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum, teori-teori hukum serta pendapat
para ahli, kemudian dilakukan penelitian terhadap pembuatan
perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah
berlakunya Undang-undang No.8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah itu akhirnya penulis mengambil kesimpulan dengan
metode deduktif, yaitu cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
umum kepada ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat khusus.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian jual beli sepeda motor setelah berlakunya undang-undang no.8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen.
Sebelum
lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) banyak peraturan yang mengatur mengenai hak-hak konsumen, seperti
Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Perindustrian dan perjanjian jual beli
dalam KUHPerdata, namun peraturan yang secara khusus mengenai perlindungan
konsumen belum ada. Kedudukan konsumen berada diposisi yang lemah sedangkan
pelaku usaha selalu berada diposisi yang kuat sehingga akhirnya merugikan konsumen
karena konsumen dijadikan obyek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan
yang besar. Untuk megatasi persoalan tersebut maka diberlakukanlah
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang erlindungan Konsumen (UUPK).
Berlakunya
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia
dijadikan dasar ataupun landasan untuk mewujudkan perlindungan konsumen bagi
konsumen termasuk dalam pembuatan perjanjian baku.
Perjanjian
baku atau standar adalah perjanjian dalam bentuk tertulis, isi atau klausulanya
telah dibakukan dan dituangkan dalam formulir yang dibuat secara sepihak oleh
pelaku usaha sehingga kedudukan konsumen berada di posisi yang lemah.
Pembuatan
perjanjian baku atau standar dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor
menurut penulis perlu mendapatkan perhatian karena perjanjian baku yang dibuat
secara sepihak oleh pelaku usaha harus tetap memenuhi syarat sah perjanjian
yang terdapat dalam pasal 1320 dengan menghindari pembuatan klausula eksonerasi
yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung jawab dari pihak
yang membuat perjanjian[48]
Pembuatan
Perjanjian baku dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor tetap merupakan
perjanjian bagi para pihak yang membuat kesepakatan, ketika konsumen menyatakan
persetujuan dengan menandatangani perjanjian tersebut dan tidak menandatangani
jika konsumen menolak atau tidak menyetujui klausula perjanjian.
Dalam
asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau
tidak membuat perjanjian serta memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian
sedangkan isi, bentuk dan cara pembuatan perjanjian para pihak bebas untuk
menyepakatinya. Asas kebebasan berkontrak menjadi jiwa dari suatu pembuatan
perjanjian baku sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan pasal
1337 KUHPerdata Indonesia yaitu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan, ketertiban umum dan Undang undang serta tidak mengandung klausula
yang dilarang sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen yaitu Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3.
Akibat
hukum dari pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan
bermotor yang mencantumkan klausula baku yang dilarang dan penyalahgunaan
keadaan dapat dibatalkan apabila dikaitkan dengan KUHPerdata Indonesia karena
tidak memenuhi syarat subyektif dari sebuah perjanjian[49],
seperti klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi merupakan klausula yang
terlarang yang memiliki akibat batal demi hukum menurut pasal 18 ayat 3 secara
umum menentukan bahwa berbagai klausula eksonerasi batal demi hukum.[50]
Undang-
undang tentang perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang
perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku yang tercantum dalam Pasal 1
Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen , sebagai berikut:
"setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib, dipenuhi oleh konsumen"
Berdasrkan
pasal diatas yang ditekankan adalah
prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal
pengertian "klausula eksonerasi" tidak sekedar mempersoalkan prosedur
pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau
tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal
18 UU Perlindungan Konsumen secara prinsip mengatur pencantuman klausula yang
dilarang yang diberlakukan bagi para pelaku usaha dalam pembuatan perjanjian
baku dan atau mencantumkan klausula baku, artinya terhadap perjanjian sewa beli
kendaraan bermotor dilarang mencamtumkan klausula yang dilarang menurut
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam pembuatan perjanjian baku atau
standar.
Dalam
ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa para pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau
pembuatan perjanjian yaitu :
1.
menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha
2.
menyatakan bahwa pelaku
usahaberhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
3.
menyatakan bahwa pelaku
usaha berhakmenolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan
atau jasa yang dibeli oleh konsumen
4.
menyatakan pemberian
kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
5.
mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen
6.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa
7.
menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan barn, tambahan, lanjutan, dan atau
pengubahan Lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dan masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
8.
menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Dalam
pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Kunsumen, dijelaskan bahwa :
“pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang keungkapannya sulit
dimengerti”
Selanjutnya
pasal 18 ayat 3 Undang-undang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa :
”
setiap klausula yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dinyatakan betal demi hukum”
Konsekuensi
atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) tersebut dan
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi
hukum setiap pembuatan perjanjian yang mencantumkan klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan
yang dilarang dalam Pasal l8 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klasula baku
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat (2).
Berdasarkan
pasal diatas tersebut merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan
berkontrak yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal 1338, Pasal 1337
KUHPerdata, apabila pasal tersebut
dikaitkan dengan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan ada delapan (8) klausula baku dilarang untuk dicantumkan dan
pasal 18 ayat (2) yang melarang pencantuman klausula baku dalam pembuatan
perjanjian baku atau standar terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, tentunya praktek pembuatan
perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor secara kredit
yang mencantumkan klausula baku sabagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) adalah bertentangan dengan Undang-undang. Sehingga pembuatan
perjanjian demikian tidak memenuhi sayarat sah perjanjian sebagaimana yang
diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang mengakibatkan perjanjian batal demi
hukum.
Pembuatan
perjanjian baku atau satandar terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan brmotor yang mencantumkan mengenai klausula baku
yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau
yang memiliki format sebagaimana dilarang pada pasal 18 ayat (2) dianggap tidak
pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang
melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut. Atas
kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat
(3), Undang-Undang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku
usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Pelaku
usaha yang tidak mentaati peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi
pidana atau pidana denda. Selain itu dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan,
berupa:[51]
1)
perampasan barang tertentu,
2)
pengumuman keputusan hakim,
3)
pembayaran ganti kerugian,
4)
perintah penghentian kegiatan tertertentu yang rnenyebabkan tirnbulnya kerugian
konsurnen,
5)
Kewajiban penarikan barang dari peredaran atau, pencabutan ijin usaha.
Dengan dicantumkannya larangan
permakaian klausula baku dalam pembuatan perjanjian baku terhadap sewa beli kendaraan
bermotor sebagairnana tertuang dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen tersebut
di atas, maka hal ini rnerupakan langkah maju bagi perkembangan hukum khususnya
dalam Hukurn Perlindungan Konsurnen. Dengan adanya ketentuan tersebut citra
konsurnen rnenjadi terangkat, dengan harapan kedudukan antara konsumen dan
produsen menjadi seimbang.
Dengan demikian, secara umum, perjanjian
sewa beli kendaraan bermotor yang berbentuk perjanjian baku tersebut harus
disesuaikan dengan prinsip-prinsip dalam Undang-Unadang Perlindungan Konsumen
sebagai ketentuan hukum positif, khususnya aturan tentang larangan pencantuman
klausula-klasula baku dalam pembuatan perjanjian baku sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Apabila penjual
masih tetap memberlakukan perjanjian yang isinya mengandung klausula-klausula
yang dilarang oleh Pasal 18 UUPK, maka klausula tersebut batal demi hukum
(Pasal 18 ayat (3) UUPK).
2.
Upaya
perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen
yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha dalam perjanjian sewa beli
kendaraan bermotor sering dihadapkan pada berbagai persoalan karena dalam
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor umumnya pelaku usaha merupakan pihak
yang kuat sedangkan konsumen merupakan pihak yang lemah.
Pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor pada umumnya dibuat secara sepihak
yaitu oleh pelaku usaha. Pelaku usaha memberikan formulir perjanjian baku
kepada konsumen yang klausulnya telah diatur dalam perjanjian tersebut mengenai
tata cara angsuran, hak dan kewajiban para pihak antara lain larangan
mengalihkan kendaraan yang dibeli secara kredit selama angsuran belum dilunasi,
dilarang melakukan perubahan terhadap kendaraan dan hak dari pelaku usaha untuk
menarik kendaraan apabila pihak pembeli tidak melaksanakan kewajibannya selama
3 (tiga) bukan berturut-turut.
Penarikan kendaraan secara sepihak
oleh pelaku usaha dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor menimbulkan masalah bagi pembeli kerena dengan
adanya penarikan tersebut maka tidak jelas nasib sejumlah uang muka dan
angsurannya tang telah dibayarkan karena dalam perjanjian yang disepakati,
konsumen dianggap tela melepaskan haknya untuk mengajukan keberatan atas
penarikan kendaraan.[52]
Dalam tiap perjanjian tentu ada
resiko yang harus dipikul. Muatan perjan jian baku yang berpotensi menimbulkan resiko adalah perjanjian yang
memuat klausula eksonerasi karena dengan klausula ini kemungkinan konsumen
untuk menuntut pelaku usaha atas pertanggung jawabannya sangat sulit.
Untuk menghindari persoalan diatas
maka konsumen dapat melakukan upaya atau pencegahan sesuai dengan yang diatur
dalam Undang-undang. Sebelum konsumen menyepakati suatu perjanjian baku dalam
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor,
berkewajiban membaca dengan teliti isi perjanjian tersebut sesuai dengan pasal
5 huruf a undang-undang Perlindungan Konsumen tentang kewajiban konsumen.
Pasal 5 huruf a UUPK dijadikan
keawajiban sebelum mendapat hak, karena dianggap sangat penting untuk mengetahui
dengan jelas suatu kontrak sebelum mengikatkan diri. Apabila terdapat
ketidakjelasan dari pasal-pasal perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha maka
konsumen dapat menggunakan haknya dengan memastikan bahwa ketidakjelasan pasal
tersebut tidak untuk menyulitkan konsumen kedepannya.
Langkah-langkah diatas merupakan
suatu upaya awal pecegahan dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam melakukan
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian yang dilakukan antara
pelaku usaha dan konsumen atau pembeli harus berdasrkan Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara
lain Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor merupakan perjanjian yang tidak
melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku berdasarkan Undang-undang
Perlindungan Konsumen, asalkan tidak bertentangan dengan pasal (18)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian pembuatan perjanjian
dengan klausula baku tidak dipersoalkan lagi sah tidaknya perjanjian tersebut,
tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausula yang dilarang oleh
Undang-undang Perlindungan Konsumen.
2.
Pembuatan perjanjian baku terhadap
perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang memuat klausula baku yang dilarang
dan penyalahgunaan keadaan batal demi hukum apabila dikaitkan dengan pasal 18
ayat 1,2, dan 3 Undang-undang perlindungan Konsumen. Walaupun kedua belah pihak
sepakat dengan klausula baku tersebut namun dimata hukum, pembuatan perjanjian
tersebut tidak sah.
B.
SARAN
1. Bagi pelaku
usaha yang membuat perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli dengan
konsumen hendaknya dilaksanakan secara transparan
agar perjanjian yang dibuat dengan konsumen sesuai dengan peraturan
perudanga-undangan yang berlaku.
2.
Pihak konsumen atau
pembeli hendaknya lebih teliti dalam membaca isi perjanjian dalam pembuatan
perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli sebelum mengikatkan diri, tujuannya
untuk menghindari perselisihan.
DAFTAR
PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
A.
Qirom
Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta,
Liberty, 1995
Amirudin dan Zainal
Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,2008.
C.S.T.
Kansil dan Cristine. Modul Hukum Perdata
Termasuk Asas-asas Hukum Perdata. Cetakan kelima, edisi revisi. Jakarta,
PT. Pradnya Paramita, 2006.
Maria
S.W Soemarjono. Pedoman Pembuatan Usulan
Peneltian Sebuah Panduan dasar. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1997.
Muhammad
AbdulKadir. Perjanjian baku dalam praktek
perusahaan perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Munir Fuadi, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis), buku ke 2. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
Mariam
Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis.
Bandung 1994.
Nukman muhamad, modul teknik dan strategi penyusunan kontrak,
pusdilklat, UII,
Purwahid
Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Semarang : CV. Mandar maju, 1994).
R.
Wirdjono projodikoro. Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur.
Banadung 1993.
R.
Subeti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke 10,
PT . Citra Aditya Bakti. Bandung 1995.
Ronny
Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian
Hukum dan Jurimetri. Jakarta . Ghalia Indonesia, 1995.
R.
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke 21,
PT Intermasa. Jakarta 2005.
Sri
Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa
Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung,
Alumni, Bandung,1999.
Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian,
Bandung, Tarsito, 1996.
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni,
Bandung, 1976.
Soerjono Soekamto dan
Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan singkat, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta 2003.
Soerjono Soekamto. Pengantar Peneltian Hukum, UI, Press,
Jakarta, 1997.
Sutan Remy
Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan
PerlindunganYang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Thamrin
S. Metode Penelitian, Pekanbaru 1996.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang
Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung, Sumur Baru, 1991.
Yusuf
shfie. Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya. Cintra Aditya Bakti. Bandung 2000.
B.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlidungan Konsumen
R. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pradnya Paramita, Jakarta 2001. Hlm, 327
C.
JURNAL
Rm.
Penggabean. Keabsahan Perjanjian dengan
Klausula Baku. Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober 2010. Hlm. 651-667
Ricardo
Simanjuntak, “Akibat dan
Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi
Yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 2 Tahun 2003.
Ridwan
Khairandy, Keabsahan Perjanjian Standar
Pasca Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, jurnal hukum No.4
Vol. 17, Jogjakarta, 2007.
D.
INTERNET/WEBSITE
Http://marantalawyer.com.
Perjanjian Kredit dan Permasalahnnya.
Diakses tanggal 9 april 2014 jam 10.00 WIB.
[1] Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata
[2] R. Subeti, Aneka Perjanjian,
Cetakan ke 10, PT . Citra Aditya Bakti. Bandung 1995, hlm. 3.
[3] R. Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke 21, PT Intermasa. Jakarta 2005, hlm. 30.
[4] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Bandung 1994,
hlm,17.
[5] Pasal 1313 KUHPredata
[6] Djaja S Meliala, hlm.
96.
[7] Ibid, hlm 96
[9] Sutan Remy
Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan
PerlindunganYang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 49.
[10] Sebekti, Hukum Perjanjian. Jakarta , Intermassa,
1990, hlm 13.
[11] Mariam Darus
Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis.
Bandung 1994, hlm,1.
[12] Sri Gambir Melati Hatta,
Beli sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:
Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung 2000, hlm,
146.
[13] Ridwan
Khairandy, Keabsahan Perjanjian Standar
Pasca Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, jurnal hukum No.4
Vol. 17, Jogjakarta, 2007, hlm .
[14] http://marantalawyer.com. Perjanjian Kredit dan Permasalahnnya. Diakses tanggal 9 april 2014
jam 10.00 WIB.
[15] Munir Fuadi, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis), buku ke 2. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm 76.
[16] Sutan Remi Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang
seimbang bagi para ppihak dalam perjanjian kredit bank di indonesia.
Jakarta ,Instutut Bankir Indonesia, 1993, hlm 66.
[18] Ibid
[19]Rm. Penggabean. Keabsahan Perjanjian dengan Klausula Baku.
Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober 2010. Hlm. 651-667
[20]Ricardo
Simanjuntak, “Akibat dan
Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi
Yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 2 Tahun 2003,
hlm. 57.
[22] Muhammad Abdul Kadir. Hukum perikatan. Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, 1992. Hlm, 78
[23] Subekti. Hukum perjanjian. Jakarta, PT.
Intermassa, 1990, hlm. 1
[24] Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1993,
hal. 1
[25] A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1995, hal. 20
[26] R. Wirdjono
projodikoro. Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur. Banadung 1993. Hlm. 13
[27] R. Subekti dan
Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Pradnya Paramita, Jakarta 2001. Hlm, 327.
[28] Hatta, hlm 46
[29] Muhammad AbdulKadir. Perjanjian baku dalam praktek perusahaan
perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Hlm, 6
[30] Sutan Remi Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang
seimbang bagi para ppihak dalam perjanjian kredit bank di indonesia. Jakarta
,Instutut Bankir Indonesia, 1993, hlm 66.
[31] Muhammad
Abdulkadir,op.cit. hal.2
[32] Ibid, hal 4
[33] Muhammad Abdulkadir.
Perjanjian baku
dalam praktek perusahaan perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
1992.
Hlm. 6
[34] Ibid. Hlm 7
[35] Ibid. Hlm 8
[36] ibid
[37] Ibid. Hlm 8
[38] Ibid. Hlm 8-9
[39] Thamrin S. Metode Penelitian, Pekanbaru 1996. Hlm
6.
[40] Soerjono Soekamto dan
Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan singkat, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta 2003. Hlm 1.
[41] Soerjono Soekamto. Pengantar Peneltian Hukum, UI, Press,
Jakarta, 1997. Hlm 42.
[42] Amirudin dan Zainal
Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,2008. Hlm. 19
[43] Maria S.W Soemarjono. Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian Sebuah
Panduan dasar. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1997. Hlm 42.
[44] Ibid hlm 118
[45] Soerjono Soekamto dan
Sri Mamudji. Op cit. Hlm 10
[46] Ronny Hanitijo Soemitro.
Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta . Ghalia Indonesia, 1995. Hlm. 11
[47] Ibid , hlm 12
[48] Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama :
Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung, Alumni, Bandung,1999, hlm.
144.
[49] Lihat pasal 1320
[50] Undang-undang
Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
[51] Lihat Pasal 63 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
[52] Yusuf shfie. Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya. Cintra Aditya Bakti. Bandung 2000. Hlm. 212
New Jersey - Casinos in 2021 - Dr.MCD
BalasHapusWe've reviewed several casinos in New Jersey 통영 출장샵 and it's a good option for 충청북도 출장안마 you to 제주도 출장샵 play responsibly and casino; casino; 통영 출장샵 online 당진 출장안마 casino; slot machines