Kamis, 18 Juni 2015

Pembuatan Perjanjian Baku

BAB 1
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
Hukum perjanjian dalam Burgelij Wetbook (BW) menganut asas konsensualisme[1]. Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu[2]. Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya, sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya[3].
Lahirnya suatu perjanjian terjadi apabila ada kata sepakat dan pernyataan sebelah menyebelah, pernyataan sepakat dalam hal ini adalah mengenai hal-hal yang pokok baik berbentuk lisan ataupun tulisan sedangkan pernyataan sebelah menyebelah terjadi apabila satu pihak yang menawarkan menyatakan tentang perjanjian dan pihak lawan setuju tentang apa yang dinyatakan sebelumnya[4]
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih[5]. Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan memenuhi persyaratan ini, masyarakat dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian[6]. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut[7].
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.[8]Dengan demikian asas itikad baik mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.[9]
Hukum perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka artinya adanya kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan[10]. Selama perkembangannya Hukum Perjanjian Indonesia mengalami banyak perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif, keputusan badan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi[11].
Perkembangan dan kemajuan perekonomian di Indonesia saat ini banyak transaksi-transaksi jenis baru mulai diterapkan. Praktek perjanjian dalam perkembangannya dilaksanakan suatu bentuk kontrak yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir [12]. Perjanjian semacam ini dikenal dengan istilah perjanjian baku.
Penggunaan kontrak baku dewasa ini menunjukkan satu sisi dominasi ekonomi modern oleh badan usaha atau perusahaan. Perusahaan-perusahaan menciptakan bentuk kontrak sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar eksternal mereka[13], dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar klausul perjanjian secara sepihak. Pihak konsumen tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian.
Dalam praktek bisnis , kontrak baku diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan bisnis dan mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku bisnis, oleh karena itu tidak mengherankan apabila dalam praktek bisnis ditemukan begitu banyak perjanjian baku, tidak terkecuali pada praktek perjanjian sewa beli kendaraan bermotor. Dalam BW Belanda, sewa-beli dikontruksikan sebagai jual-beli dengan cicilan, dengan penangguhan pemindahan hak miliknya.[14]
Perjanjian sewa beli kendaraan bermotor merupakan perjannjian yang tidak disebutkan dalam KUHPredata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) walaupun demikian syarat sahnya perjanjian serta asas-asas hukum perjanjian dalam KUHPerdata tetap harus digunakan dalam membuat suatu perjanjian sehingga dua belah pihak tunduk pada kesepakatan yang telah disepakati sebagai undang-undang bagi mereka.
Perjanjian sewa beli merupakan perjanjian yang tergolong kedalam perjanjian-perjanjian tidak bernama diluar KUHPerdata, dalam praktek bisnis di Indonesia jenis perjanjian sewa beli berlaku dan diakui oleh masyarakat dan telah menjadi yusriprudensi meskipun belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-undang mengenai perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.
Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat, sedemikian urgennya sepeda motor ini menyebabkan permintaan masyarakat terhadap kendaraan bermotor relatif tinggi, permintaan kendaraan bermotor yang tinggi tentu saja memicu  meningkatnya harga penjualan oleh palaku usaha. walaupun demikian pelaku usaha mencoba untuk menyiasati dan memanfaatkan keadaan ini dengan memberikan kemudahan bagi konsumen untuk membelinya, yaitu dengan fasilitas atau dengan pelayanan pembelian secara kredit.
Pelayanan pembelian secara kredit yang ditawarkan oleh pelaku usaha terhadap konsumen, mempergunakan perjanjian baku (perjanjian standar) untuk mengikat kedua belah pihak dalam perjanjian. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan perjanjian sudah dibuat dalam bentuk formulir oleh salah satu pihak, ketika kontrak ditanda tangani umumnya para pihak hanya mengisi data-data informasi tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, pihak lain tidak punya kesempatan untuk melakukan negosiasi atau mengubah klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga kontrak baku terlihat sangat berat sebelah.[15]
Perjanjian baku juga memiliki pengertian sebagai suatu perjanjian yang hampir klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.[16]. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.[17]
Penggunaan kontrak baku dalam dunia bisnis dewasa ini menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi didasarkan pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang. Kesepakatan yang didapat dalam perjanjianitu merupakan hasil kesepakatan di antara para pihak proses semacam itu tidak ditemukan dalam perjanjian baku,hampir tidak ada kebebasan dalam menentukan isi perjanjian dalam proses kesepakatan. Isi atau syarat-syarat perjanjian telah ditentukan secara sepihak oleh pengusaha[18].
Praktik pembuatan perjanjian baku di satu sisi sangat menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain menimbulkan kerugian bagi konsumen. Permasalahan tersebut merupakan persoalan yang klasik dalam suatu sistem ekonomi, terutama pada negara-negara berkembang, karena perlindungan terhadap konsumen tidak menjadi prioritas utama dalam dunia bisnis, melainkan keuntungan yang diperoleh oleh produsen atau pelaku usaha dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor.
Secara umum, kedudukan konsumen dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor berada posisi yang lemah dibandingkan pihak pelaku usaha, baik dari segi sosial ekonomi, pengetahuan teknis maupun dalam mengambil upaya hukum melalui institusi pengadilan, sehingga konsumen sering tidak menyadari haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Apabila konsumen mengetahui hal tersebut sekalipun, konsumen enggan untuk melakukan tindakan upaya hukum.
Pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang ditetapkan sepihak  menunjukkan bahwa dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor dalam praktek memiliki ciri tersendiri, yaitu upaya memperkuat hak penjual dari berbagai kemungkinan yang terburuk, selama masa kontrak atau sebelum waktu pelunasan angsuran, untuk menjamin kepentingan penjual. Hal ini yang membuat pembuatan perjanjian baku yang dipergunakan dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor sering merupakan penyebab utama  timbulnya masalah di pihak pembeli dari pada penjual. Adanya salah satu contoh persoalan yang timbul dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor adalah klausula-klausula yang memberikan hak kepada penjual untuk menuntut  dan penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya jika terjadi persoalan hukum.
Pembuatan perjanjian baku yang diteliti dalam Penelitian ini adalah pembuatan perjanjian baku terhadap  perjanjian terhadap sewa beli kendaraan ber motor yang ternyata banyak dipakai dalam praktek.
Penerapan perjanjian baku ini sejak awal kelahirannya hingga kini menimbulkan kontroversi baik menyangkut keberadaan dan keabsahan perjanjian baku. Perdebatan tentang sah atau tidaknya suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian standar (standardized contract) untuk mengikat ataupun berlaku sebagai hukum para pihak yang membuat perjanjian sudah menjadi persoalan lama kelanjutan dari persoalan yang telah muncul di negara-negara yang telah lebih dahulu menghadapi permasalahan penggunaan pola perjanjian standar tersebut, sebagai reaksi atau upaya masyarakat hukum untuk mencari ukuran keadilan, khususnya bagi pihak pengguna barang dan jasa (konsumen) yang lebih cenderung didudukkan pada posisi yang lemah.[19]
Pembuatan perjajian baku atau standar dalam perjanjan sewa beli kendaraan bermotor tidak dilarang, namun tidak boleh bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya hukum yang tegas mengenai pembuatan perjanjian baku dan yang mencantumkan klausul-klausul baku yang tidak adil yang sering digunakan oleh pelaku usaha untuk menekan konsumen tersebut, asas kebebasan berkontrak serta konsekuensi mengikatnya kesepakatan hukum bagi para pihak (pacta sunt servanda)[20].
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur perjanjian baku. Kini dengan telah berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) walaupun Undang-undang ini tidak merumuskan definisi tentang perjanjian baku akan tetapi Undang-undang perlindungan konsumen merumuskan klausula-klausula perjanjian baku dan masalah keabsahan pembuatan perjanjian baku  mulai terjawab. Masyarakat menginginkan perjanjian baku tetap menjunjung asas-asas universal yang berlaku dalam hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas kebebasan memilih hukum yang berlaku dan asas kebebasan menentukan yurisdiksi.
Penjelasan pasal 18 ayat 1 Undang-undang nomor 8 tahun 1999, memberikan pembatasan-pembatasan pada perjanjian baku yang justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal. Undang-undang perlindungan konsumen juga telah menegaskan di dalam pasal dua (2) mengenai asas perlindungan konsumen sebagai landasan untuk mewujudkan perlindungan bagi konsumen termasuk dalam penerapan perjanjian baku.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 18 ayat 2 disebutkan bahwa "Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak mengambil tindakan sepihak atas barang yang dibeli konsumen secara angsuran". Klausula baku seperti ini adalah batal demi hukum.
Pembuatan perjanjian baku dengan mencantumkan klausula baku yang dilarang menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum, dengan demikian  perjanjian dengan klausula baku tidak dipersoalkan lagi sah tidaknya perjanjian tersebut, tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausula yang dilarang oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik mengadakan penelitian tentang Pembuatan Perjanjian Baku Terhadap Perjanjian Sewa Beli Motor Setelah Berlakunya Undang-undang No. 8 tahun  1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


2.    Perumusan Masalah
1.      Bagaimana pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2.      Upaya perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembuatan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor  sesuai Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3.    Tujauan penelitian
a.       Untuk mengetahui bagaimanakah pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor  setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
b.      Untuk mengetahui upaya perlidungan hukum bagi konsumen dalam pembuatan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor  menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
4.    Manfaat penelitan
a.       Untuk  menambah pengetahuan dan pemahaman penulis tentang pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
b.      Sebagai bahan kepustakaan atau literatur pendukung bagi peneliti yang dapat diaplikasikan untuk masa depan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam Buku ke III Bab II pasal 1313 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”[21].
Perjanjian adalah satu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksankan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[22]. Perjanjian juga merupakan peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal[23]
Dengan demikian, dalam perjanjian para pihak yang melakukan kontrak memiliki beberapa kehendak yaitu :[24]
1) kebutuhan terhadap janji atau janji-janji;
2) kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih pihak dalam
suatu perjanjian;
3) kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban dan
4) kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakan hukum.
Asas-asas yang terkandung dalam perjanjian antara lain adalah sebagai berikut :[25]
a. Asas Kebebasan Berkontrak (sistem terbuka)
Asas kebebasan berkontrak, tidak berdiri sendiri, berada dalam satu sistem utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya pasal 1320, 1335, 1337, 1338, 1339 dan 1347. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian , kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional). Sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem terbuka juga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Undang-Undang hanyalah perjanjian-perjanjian yang telah dikenal umum di dalam masyarakat pada waktu KUH.Perdata dibentuk. Contoh, Undang-Undang hanya mengatur perjanjian jual beli dari sewa menyewa, namun dalam praktik, ada perjanjian bentuk campuran yang timbul karena pembeli tidak mampu membayar harga barang sekaligus, yang dinamakan sewa beli.

b. Asas Konsensualitas (kesepakatan)
Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat mengikat
sejak tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai
obyek perjanjian. Di sini telah dapat ditetapkan apa yang menjadi hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak. Sebagai contoh adalah transaksi jual
beli. Perjanjian telah timbul sejak penjual melakukan penawaran atas suatu
barang dan penawaran itu kemudian disetujui oleh pembeli.
c. Asas Itikad Baik (kepribadian)
Asas itikad baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3). Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak, sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.
d. Asas Pelengkap
Pasal-Pasal dalam Hukum Perjanjian dikatakan sebagai hukum pelengkap, karena pasal-pasal ini melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara
tidak lengkap. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang berkaitan dengan perjanjian
itu. Sebagai contoh : dalam perjanjian jual beli cukup apabila barang dan harganya telah disetujui. Mengenai dimana barang diserahkan, siapa yang harus memikul biaya pengantaran barang dan lain-lain, kadang tidak diperhitungkan dalam perjanjian.
B.       Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Sewa Beli
Perjanjian sewa beli dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “Huurkoop” sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “Hire Purchase” yang artinya suatu ciptaan praktek (kebiasaan) yang sudah diakui secara sah oleh yurisprudensi.
Praktek perjanjian sewa beli diperbolehkan, karena hukum perjanjian Indnesia dalam KUHPerdata menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 ayat I KUHPerdata. Artinya ornag diperkenankan untuk membuat perjanjian baik yang dalam Undang-undang maupun yang sama sekali belum diatur dalam Undang-undang sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian sewa beli adalah persetujuan sewa menyewa barang dengan akibat bahwa sipenerima barang tidak menjadi pemilik melainkan pemakai belaka, baru kalau semua uang sewa telah dibayar berjumlah sama denga harga pembelian, maka sipenyewa beralih menjadi pembeli barang, yaitu barang menjadi miliknya.[26] Hal ini merupakan bahwa dimana selama harga barang belum dibayar lunas, sipembeli sebagai penyewa dahulu dari barang yang dibelinya.[27]
Dasar hukum perjanjian sewa beli di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KPII/1980 tanggal 1 Februari 1980 dihapuskan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 21/M-DAG/PER/10/2005 Tentang pencabutan beberapa perizinan dan Pendaftaran dibidang Perdagangan. Dasar hukum selanjutnya yang mengatur pernajian sewa beli adalah KUHPerdata yang terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 yang memperbolehkan membuat perjanjian jenis baru asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Sewa beli sebagai pranata hukum perjanjian yang telah diakui pula oleh yurisprudensi, antara lain adalah:
1.      Putusan Pengadilan Tinggi surabaya No. 1741/K SIP/1957 yang merupakan peletak dasar pendangan atas lembaga sewa beli sebagai salah satu bentuk jual beli.
2.      Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1243 K/Pdt/1983 yang memberikan kaidah meskipun sewa beli tidak ada dalam KUHPerdata sebagai acuan pelaksanaannya.
3.      Yurisprudensi M.A No. 935 K/Pdt/1985 yang memberikan kaidah bahwa meskipun dalam perjanjian sewa beli telah ada klausula penundaaan peralihan namun demikian karena tergugat telah membayar lima puluh persen (50%) angsurannya maka barang tersebut telah menjadi milik pembeli sewa sehingga tidak dapat ditarik kembali oleh penjual.

C.Tinjaun Umum Tentang Perjanjian Baku.
Pengertian baku adalah patokan atau ukuran[28], perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha disebut perjanjian baku.[29] 
Perjanjian baku adalah kontrak ( perjanjian) yang hampir seluruh klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain tidak punya peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan yang belum dibakukan hanyalah bebrpa hal saja, misalnnya menyangkut, jenis, harga, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.[30]
Pembuatan perjanjian baku oleh pihak penjual selalu berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak pembeli berada dalam posisi yang lemah, sementara pihak pembeli dihadapkan pada dua pilihan yaitu:[31]
a.       Jika pihak pembeli membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka pembeli dapat menyetujui perjanjian baku yang diberikan oleh pihak penjual.
b.      Jika pembeli tdak setuju dengan perjanjian baku yang diberikan, maka piha pembeli jangan membuat perjanjian dengan pihak penjual yang bersangkutan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian baku walaupun akibat tersebut seringkali merugikan konsumen,[32] adapun ciri-ciri kontrak baku tersebut adalah :
1.    Bentuknya tertulis
Kalimat pernyataan kehendak yang dimuat dalam perjanjiaj baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik ( akta dibawah tangan) dan susunan kata atau kalimat dibuat secara teratur dan rapi.[33]
2.    Format yang dibakukan
Format telah ditentukan model, rumusan dan ukurannya sehingga tidak dapat diganti karena telah dicetak.[34]
3.    Syarat-sayarat kontrak ditentukan pengusaha
Syarat-syarat kontrak dikuasai oleh pengusaha sehingga syarat kontrak tersebut lebih menguntungkan pengusaha dari pada konsumen.[35]
4.    Konsumen hanya menerima atau menolak
Syarat perjanjian baku yang diterima dan ditandatangani oleh konsumen menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul tanggung jawab dan konsumen tidak dapat menawar syarat yang telah dibakukan, apabila kon sumen menawar syarat yang telah baku artinya konsumen menolak kotrak baku tersebut.[36]

5.    Penyelesaian sengketa
Peneyelessaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase dan pengadilan jika ada pihak yang menghendakinya.[37]
6.    Kontrak baku menguntungkan pengusaha
Kontrak baku yang telah ditetapkan secara sepihak akan lebih menguntungkan pihak pengusaha seperti efisiensi biaya, waktu dan tenaga.[38]
Dalam perjanjian baku terdapat klausul baku yang merupakan pernyataan yang ditetapkan secara sepihak oleh salah satu pihak, lazimnya adalah pelaku usaha, sehingga konsumen hanya mempunyai pilihan menyetujui atau menolaknya (take it or leave it contract).
Penetapan secara sepihak ini biasanya menimbulkan masalah karena bersifat berat sebelah ini merupakan ciri khas dari pranata sewa beli yaitu perjanjian bentuk tertulis, meskipun bentuk tertulis bukanlah syarat untuk sahnya suatu perjanjian sewa beli. Dari bentuk tertulis ini timbul perjanjian-perjanjian yang bentuk maupun isinya telah dibuat oleh salah satu pihak. Biasanya pembuat perjanjian baku ini adalah pelaku usaha/kreditur/penjual yang umumnya mempunyai posisi tawar yang lebih kuat.
Kreditur atau pelaku usaha menyodorkan bentuk perjanjian yang berwujud blanko atau formulir dengan klausul-klausul yang sudah ada, kecuali mengenai harga, cara pembayaran, jangka waktu, jenis barang, jumlah serta macamnya.

BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitia dimulai dari hasrat keingintahuan atau permasalahan, kemudian diteruskan dengan penelahaan landasan teoritis dalam perpustakaan untuk memperoleh jawaban sementara, kemudian dirancang dan dilakukan pengumpulan data dan fakta untuk memperoleh jawaban permasalahan.[39]
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi, karena penelitian bertujuan mengungkap kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten, melalui penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.[40]
Penelitian yang akan digunakan harus disesuaikan dengan cabang ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang akan diteliti, dan penerapan metode penelitian hukum akan berbeda dengan penerapan metode penelitin lainnya.
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati tekun dan tuntas terhdapa suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian dapat dikatak bahwa metode penelitian adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.[41]
Penelitian (researh) berarti pencarian kembali yaitu pencarian pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian akan digunakan untuk menjawab permasalahan tertentu.[42] Dengan kata lain penelitian merupakan proses penemuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan sistematis dan berencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah.[43]
Dengan demikian untuk mencapai kebenaran ilmiah  dalam suatau penelitian maka seseorang dituntut untuk untuk menguasai dan menerapkan metodelogi dengan baik. Apabila seseorang tidak menggunakan metodologi maka peneliti tidak akan mampu untuk menemukan, merumuskan, menganalisa suatu masalah tertentu untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Adapun metode dari penelitian ini terdiri dari
1.    Metode Pendekatan
Berdasarkan tujuan dan perumusan masalah dalam penelitian ini maka metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian doktrinal, peneltian ini menyatakan bahwa hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.[44]
Penelitian hukum normatif menggunakan sumber data sekunder ( bahan kepustakaan) yaitu berupa peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.
2.    Spesifikasi Penelitian
Untuk mendekati permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan spesifikasi peneltian yang bersifat deskriftip analistis yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan dan gejala-gejalanya.[45]
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara rinci dan sistematis serta menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen dan dikaitkan dengan sistematis dan kosistensi hukum dalam praktek pelaksanaan hukum positif.
3.    Data dan Sumber Data
dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara tidak lansung, dengan penelitian kepustakaan,[46] untuk mendapatkan landasan teoritis dan beberapa pendapat maupuntulisan para ahli. Data sekunder dalam penelitian ini dikelompokan menjadi tiga yaitu:[47]
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mengikat, terdiri dari :
1. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan bagi bahan hukum primer, terdiri dari :
1. Buku-buku atau hasil penelitian yang membahas tentang pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya UUPK.
2. Majalah -majalah dan dokumen- dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari : Kamus hukum, Kamus besar Bahasa Indonesia.
4. Analisis Data
Setelah data terkumpul baik data primer maupun data sekunder serta data tersier, lalu data tersebut diolah dan dipelajari dan dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang sederhana dan sistematis. Selanjutnya data tersebut dianalisa dan dibahas lagi serta dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum, teori-teori hukum serta pendapat para ahli, kemudian dilakukan penelitian terhadap pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah itu akhirnya penulis mengambil kesimpulan dengan metode deduktif, yaitu cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat khusus.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.    Pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian jual beli sepeda motor setelah berlakunya undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sebelum lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen   (UUPK) banyak peraturan yang mengatur mengenai hak-hak konsumen, seperti Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Perindustrian dan perjanjian jual beli dalam KUHPerdata, namun peraturan yang secara khusus mengenai perlindungan konsumen belum ada. Kedudukan konsumen berada diposisi yang lemah sedangkan pelaku usaha selalu berada diposisi yang kuat sehingga akhirnya merugikan konsumen karena konsumen dijadikan obyek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Untuk megatasi persoalan tersebut maka diberlakukanlah Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang erlindungan Konsumen (UUPK).
Berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia dijadikan dasar ataupun landasan untuk mewujudkan perlindungan konsumen bagi konsumen termasuk dalam pembuatan perjanjian baku.
Perjanjian baku atau standar adalah perjanjian dalam bentuk tertulis, isi atau klausulanya telah dibakukan dan dituangkan dalam formulir yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga kedudukan konsumen berada di posisi yang lemah.
Pembuatan perjanjian baku atau standar dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor menurut penulis perlu mendapatkan perhatian karena perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha harus tetap memenuhi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 dengan menghindari pembuatan klausula eksonerasi yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung jawab dari pihak yang membuat perjanjian[48]
Pembuatan Perjanjian baku dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor tetap merupakan perjanjian bagi para pihak yang membuat kesepakatan, ketika konsumen menyatakan persetujuan dengan menandatangani perjanjian tersebut dan tidak menandatangani jika konsumen menolak atau tidak menyetujui klausula perjanjian.
Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian serta memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian sedangkan isi, bentuk dan cara pembuatan perjanjian para pihak bebas untuk menyepakatinya. Asas kebebasan berkontrak menjadi jiwa dari suatu pembuatan perjanjian baku sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata Indonesia yaitu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan Undang undang serta tidak mengandung klausula yang dilarang sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3.
Akibat hukum dari pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang mencantumkan klausula baku yang dilarang dan penyalahgunaan keadaan dapat dibatalkan apabila dikaitkan dengan KUHPerdata Indonesia karena tidak memenuhi syarat subyektif dari sebuah perjanjian[49], seperti klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi merupakan klausula yang terlarang yang memiliki akibat batal demi hukum menurut pasal 18 ayat 3 secara umum menentukan bahwa berbagai klausula eksonerasi batal demi hukum.[50]
Undang- undang tentang perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen , sebagai berikut:
"setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib, dipenuhi oleh konsumen"

Berdasrkan pasal diatas  yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal pengertian "klausula eksonerasi" tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.

Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen secara prinsip mengatur pencantuman klausula yang dilarang yang diberlakukan bagi para pelaku usaha dalam pembuatan perjanjian baku dan atau mencantumkan klausula baku, artinya terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor dilarang mencamtumkan klausula yang dilarang menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam pembuatan perjanjian baku atau standar.
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau pembuatan perjanjian yaitu :
1.    menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2.    menyatakan bahwa pelaku usahaberhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
3.    menyatakan bahwa pelaku usaha berhakmenolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen
4.    menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
5.    mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
6.     memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
7.    menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan barn, tambahan, lanjutan, dan atau pengubahan Lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dan masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8.    menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Kunsumen, dijelaskan bahwa :
 “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang keungkapannya sulit dimengerti”

Selanjutnya pasal 18 ayat 3 Undang-undang perlindungan konsumen menjelaskan bahwa :
” setiap klausula yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan betal demi hukum”

Konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) tersebut dan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap pembuatan perjanjian yang mencantumkan klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal l8 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klasula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat (2).
Berdasarkan pasal diatas tersebut merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata jo Pasal 1338, Pasal 1337 KUHPerdata, apabila pasal tersebut  dikaitkan dengan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan ada delapan (8) klausula baku dilarang untuk dicantumkan dan pasal 18 ayat (2) yang melarang pencantuman klausula baku dalam pembuatan perjanjian baku atau standar terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, tentunya praktek pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor secara kredit yang mencantumkan klausula baku sabagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) adalah bertentangan dengan Undang-undang. Sehingga pembuatan perjanjian demikian tidak memenuhi sayarat sah perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.
Pembuatan perjanjian baku atau satandar  terhadap perjanjian sewa beli kendaraan brmotor yang mencantumkan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau yang memiliki format sebagaimana dilarang pada pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Undang-Undang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha yang tidak mentaati peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pidana atau pidana denda. Selain itu dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:[51]
1) perampasan barang tertentu,
2) pengumuman keputusan hakim,
3) pembayaran ganti kerugian,
4) perintah penghentian kegiatan tertertentu yang rnenyebabkan tirnbulnya kerugian konsurnen,
5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran atau, pencabutan ijin usaha.
Dengan dicantumkannya larangan permakaian klausula baku dalam pembuatan perjanjian baku terhadap sewa beli kendaraan bermotor sebagairnana tertuang dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen tersebut di atas, maka hal ini rnerupakan langkah maju bagi perkembangan hukum khususnya dalam Hukurn Perlindungan Konsurnen. Dengan adanya ketentuan tersebut citra konsurnen rnenjadi terangkat, dengan harapan kedudukan antara konsumen dan produsen menjadi seimbang.
Dengan demikian, secara umum, perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang berbentuk perjanjian baku tersebut harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip dalam Undang-Unadang Perlindungan Konsumen sebagai ketentuan hukum positif, khususnya aturan tentang larangan pencantuman klausula-klasula baku dalam pembuatan perjanjian baku sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Apabila penjual masih tetap memberlakukan perjanjian yang isinya mengandung klausula-klausula yang dilarang oleh Pasal 18 UUPK, maka klausula tersebut batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3) UUPK).
2.    Upaya perlindungan hukum bagi konsumen dalam pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Konsumen yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor sering dihadapkan pada berbagai persoalan karena dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor umumnya pelaku usaha merupakan pihak yang kuat sedangkan konsumen merupakan pihak yang lemah.
Pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor pada umumnya dibuat secara sepihak yaitu oleh pelaku usaha. Pelaku usaha memberikan formulir perjanjian baku kepada konsumen yang klausulnya telah diatur dalam perjanjian tersebut mengenai tata cara angsuran, hak dan kewajiban para pihak antara lain larangan mengalihkan kendaraan yang dibeli secara kredit selama angsuran belum dilunasi, dilarang melakukan perubahan terhadap kendaraan dan hak dari pelaku usaha untuk menarik kendaraan apabila pihak pembeli tidak melaksanakan kewajibannya selama 3 (tiga) bukan berturut-turut.
Penarikan kendaraan secara sepihak oleh pelaku usaha dalam perjanjian sewa beli kendaraan bermotor  menimbulkan masalah bagi pembeli kerena dengan adanya penarikan tersebut maka tidak jelas nasib sejumlah uang muka dan angsurannya tang telah dibayarkan karena dalam perjanjian yang disepakati, konsumen dianggap tela melepaskan haknya untuk mengajukan keberatan atas penarikan kendaraan.[52]
Dalam tiap perjanjian tentu ada resiko yang harus dipikul. Muatan perjan jian baku yang berpotensi  menimbulkan resiko adalah perjanjian yang memuat klausula eksonerasi karena dengan klausula ini kemungkinan konsumen untuk menuntut pelaku usaha atas pertanggung jawabannya sangat sulit.
Untuk menghindari persoalan diatas maka konsumen dapat melakukan upaya atau pencegahan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang. Sebelum konsumen menyepakati suatu perjanjian baku dalam perjanjian sewa beli kendaraan  bermotor, berkewajiban membaca dengan teliti isi perjanjian tersebut sesuai dengan pasal 5 huruf a undang-undang Perlindungan Konsumen tentang kewajiban konsumen.
Pasal 5 huruf a UUPK dijadikan keawajiban sebelum mendapat hak, karena dianggap sangat penting untuk mengetahui dengan jelas suatu kontrak sebelum mengikatkan diri. Apabila terdapat ketidakjelasan dari pasal-pasal perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha maka konsumen dapat menggunakan haknya dengan memastikan bahwa ketidakjelasan pasal tersebut tidak untuk menyulitkan konsumen kedepannya.
Langkah-langkah diatas merupakan suatu upaya awal pecegahan dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam melakukan perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha dan konsumen atau pembeli harus berdasrkan Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara lain Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

BAB V
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor merupakan perjanjian yang tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen, asalkan tidak bertentangan dengan pasal (18) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian pembuatan perjanjian dengan klausula baku tidak dipersoalkan lagi sah tidaknya perjanjian tersebut, tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausula yang dilarang oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen.
2.      Pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli kendaraan bermotor yang memuat klausula baku yang dilarang dan penyalahgunaan keadaan batal demi hukum apabila dikaitkan dengan pasal 18 ayat 1,2, dan 3 Undang-undang perlindungan Konsumen. Walaupun kedua belah pihak sepakat dengan klausula baku tersebut namun dimata hukum, pembuatan perjanjian tersebut tidak sah.
B.     SARAN
1.    Bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli dengan konsumen hendaknya dilaksanakan secara transparan agar perjanjian yang dibuat dengan konsumen sesuai dengan peraturan perudanga-undangan yang berlaku.
2.    Pihak konsumen atau pembeli hendaknya lebih teliti dalam membaca isi perjanjian dalam pembuatan perjanjian baku terhadap perjanjian sewa beli sebelum mengikatkan diri, tujuannya untuk menghindari perselisihan.

DAFTAR PUSTAKA

A.      BUKU-BUKU
A.                Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1995
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,2008.
C.S.T. Kansil dan Cristine. Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata. Cetakan kelima, edisi revisi. Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2006.
Maria S.W Soemarjono. Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian Sebuah Panduan dasar. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1997.
Muhammad AbdulKadir. Perjanjian baku dalam praktek perusahaan perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
                        , Hukum perikatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Munir Fuadi, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), buku ke 2. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Cutra Aditya Bakti, Bandung 2002.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Bandung 1994.
Nukman muhamad, modul teknik dan strategi penyusunan kontrak, pusdilklat, UII,
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Semarang : CV. Mandar maju, 1994).
R. Wirdjono projodikoro.  Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur. Banadung 1993.
R. Subeti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke 10, PT . Citra Aditya Bakti. Bandung 1995.
Ronny Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta . Ghalia Indonesia, 1995.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke 21, PT Intermasa. Jakarta 2005.
Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung, Alumni, Bandung,1999.
Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung, Tarsito, 1996.
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1976.
                         , Hukum Perjanjian. Jakarta , Intermassa, 1990.
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta 2003.
Soerjono Soekamto. Pengantar Peneltian Hukum, UI, Press, Jakarta, 1997.
 , Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1993.
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan PerlindunganYang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Thamrin S. Metode Penelitian, Pekanbaru 1996.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung, Sumur Baru, 1991.
Yusuf shfie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Cintra Aditya Bakti. Bandung 2000.
B.  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlidungan Konsumen
R. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita, Jakarta 2001. Hlm, 327
C.  JURNAL
Rm. Penggabean. Keabsahan Perjanjian dengan Klausula Baku. Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober 2010. Hlm. 651-667
Ricardo Simanjuntak, “Akibat dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 2 Tahun 2003.
Ridwan Khairandy, Keabsahan Perjanjian Standar Pasca Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, jurnal hukum No.4 Vol. 17, Jogjakarta, 2007.
D.  INTERNET/WEBSITE
Http://marantalawyer.com. Perjanjian Kredit dan Permasalahnnya. Diakses tanggal 9 april 2014 jam 10.00 WIB.




[1] Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata
[2] R. Subeti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke 10, PT . Citra Aditya Bakti. Bandung 1995, hlm. 3.
[3] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke 21, PT Intermasa. Jakarta 2005, hlm. 30.
[4] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Bandung 1994, hlm,17.
[5] Pasal 1313 KUHPredata
[6] Djaja S Meliala, hlm. 96.
[7] Ibid, hlm 96
[8] Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 26.
[9] Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan PerlindunganYang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 49.
[10] Sebekti, Hukum Perjanjian. Jakarta , Intermassa, 1990, hlm 13.
[11] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Bandung 1994, hlm,1.
[12] Sri Gambir Melati Hatta, Beli sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung 2000, hlm, 146.
[13] Ridwan Khairandy, Keabsahan Perjanjian Standar Pasca Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, jurnal hukum No.4 Vol. 17, Jogjakarta, 2007, hlm .
[14] http://marantalawyer.com. Perjanjian Kredit dan Permasalahnnya. Diakses tanggal 9 april 2014 jam 10.00 WIB.
[15] Munir Fuadi, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), buku ke 2. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm 76.
[16] Sutan Remi Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para ppihak dalam perjanjian kredit bank di indonesia. Jakarta ,Instutut Bankir Indonesia, 1993, hlm 66.
[17] Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Cutra Aditya Bakti, Bandung 2002, hal 7
[18] Ibid
[19]Rm. Penggabean. Keabsahan Perjanjian dengan Klausula Baku. Jurnal Hukum, No. 4 Vol. 17 Oktober 2010. Hlm. 651-667
[20]Ricardo Simanjuntak, “Akibat dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 2 Tahun 2003, hlm. 57.

[21] Lihat pasal 1313 KUHPerdata
[22] Muhammad Abdul Kadir. Hukum perikatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Hlm, 78
[23] Subekti. Hukum perjanjian. Jakarta, PT. Intermassa, 1990, hlm. 1
[24] Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1993, hal. 1

[25] A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty, 1995, hal. 20

[26] R. Wirdjono projodikoro.  Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur. Banadung 1993. Hlm. 13
[27] R. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita, Jakarta 2001. Hlm, 327.
[28] Hatta, hlm 46
[29] Muhammad AbdulKadir. Perjanjian baku dalam praktek perusahaan perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Hlm, 6
[30] Sutan Remi Sjahdeni, kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para ppihak dalam perjanjian kredit bank di indonesia. Jakarta ,Instutut Bankir Indonesia, 1993, hlm 66.
[31] Muhammad Abdulkadir,op.cit. hal.2
[32] Ibid, hal 4
[33] Muhammad  Abdulkadir. Perjanjian baku dalam praktek perusahaan perdagangan Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Hlm. 6
[34] Ibid. Hlm 7
[35] Ibid. Hlm 8
[36] ibid
[37] Ibid. Hlm 8
[38] Ibid. Hlm 8-9
[39] Thamrin S. Metode Penelitian, Pekanbaru 1996. Hlm 6.
[40] Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta 2003. Hlm 1.
[41] Soerjono Soekamto. Pengantar Peneltian Hukum, UI, Press, Jakarta, 1997. Hlm 42.
[42] Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,2008. Hlm. 19
[43] Maria S.W Soemarjono. Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian Sebuah Panduan dasar. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 1997. Hlm 42.
[44] Ibid hlm 118
[45] Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. Op cit. Hlm 10
[46] Ronny Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta . Ghalia Indonesia, 1995. Hlm. 11
[47] Ibid , hlm 12
[48] Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung, Alumni, Bandung,1999, hlm. 144.

[49] Lihat pasal 1320
[50] Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
[51] Lihat Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
[52] Yusuf shfie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Cintra Aditya Bakti. Bandung 2000. Hlm. 212

1 komentar:

  1. New Jersey - Casinos in 2021 - Dr.MCD
    We've reviewed several casinos in New Jersey 통영 출장샵 and it's a good option for 충청북도 출장안마 you to 제주도 출장샵 play responsibly and casino; casino; 통영 출장샵 online 당진 출장안마 casino; slot machines

    BalasHapus