BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Balakang
Pembatasan
terhadap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat baik, dengan
tetap melarangnya mengikuti pencalonan menjadi pejabat publik, adalah suatu
penghukuman berlanjut tanpa batas yang sangat tidak adil (unlimited and
unfair sentencing) adalah tidak adil dan tidak konsitusional menghukum
seseorang dengan merampas hak politiknya dan haknya untuk berbakti ke
masyarakat melalui pengabdiannya, karena pengabdian kepada masyarakat adalah
suatu sifat alamiah yang tidak dapat dirampas oleh negara (being a
social creature is an inalienable right), apalagi pelaksanaan pemilihan
kepala daerah berlangsung satu kali dalam lima tahun, sehingga pembatasan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda,
khususnya syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun
sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, telah menzalimi hak
konstitusional warga negara dengan perlakuan diskriminatif yang dijamin
dan dilindungi dalam Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.[1]
Prinsip
Negara Kedaulatan Rakyat telah
diakomodir berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 khusus untuk persyaratan tidak berlaku untuk
jabatan publik yang dipilih (elected
officials), dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang sedangkan syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya bertentangan dengan prinsip
kedaulatan rakyat dan prinsip Negara
Hukum[2]. (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) yang menganut asas
persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, asas tidak diskriminatif,
asas memperoleh kesempatan yang sama, asas keadilan dan asas proporsionalitas.[3]
Dari uraian singkat di atas penulis sangat tertarik
untuk mengkaji lebih dalam, mengenai, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VI/2009
Terhadap Pencalonan Mantan
Narapidana Sebagai Anggota Legislatif, DPD dan Kepala Daerah dengan judul, “Tinjauan
Yuridis Hak Politik Warga Negara Indonesia Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 4/PUU-VI/2009.(Studi Kasus).
B. Masalah Pokok
Berdasarkan uraian
yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas memerlukan suatu
usaha dari penulis. Dan karenanya penelitian ini dibatasi pada :
1. Bagaimanakah
pemulihan hak politik menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009
2. Bagaimanakah
implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009
terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a.
Untuk
mengetahui Bagaimanakah pemulihan hak politik
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi?
b.
Untuk
mengetahui implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan Pasal 58 huruf f
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
2.
Manfaat Penelitian
a.
Untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman penulis tentang hilangnya dan pemulihan hak politik
WNI, implikasi putusan mahkamah
konstitusi No.4 / PUU-VI/2009
terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu
legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
b.
Sebagai
bahan kepustakaan atau literatur pendukung bagi peneliti yang dapat
diaplikasikan untuk masa depan.
c.
Sebagai
sumbangan ilmu pengetahuan penulis kepada civitas akademika Universitas Islam
Riau khususnya Program Magister Ilmu Hukum.
D. Kerangka
Teori
1.
Teori Konstitusi
Secara
etimologi antara kata” konstitusi” “konstitusional” dan “konstitusionalisme”
inti maknanya sama namun, penggunaan dan penerapan berbeda, konstitusi adalah
segala ketentuan dan aturan manajemen ketata negaraan (Undang-undang Dasar dan
sebagainya), atau Undang-undang suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan
atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan
atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijaka) tersebut adalah tidak konstitusional,
berbeda hal nya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[4]
2. Teori
Negara Hukum
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 1 Ayat 3 ” Negara Indonesia
adalah Negara Hukum, keinginan bagi terwujudnya negara hukum dipertegas lagi
dalam Pasal 27 Ayat 1 yang mengatakan ” Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini selain menjamin prinsip
equality before the law yang merupakan hak demokrasi yang fundamental,
juga mengaskan kewajiban warga negara untuk menjungjung tinggi hukum yang
merupakan syarat langgengnya negara.[5]
3. Teori Kekuasaan
Kehakiman
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu
prinsip penting bagi Indonesia
sebagai suatu negara hukum, prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman
kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya kearah tersebut dialakukan dengan
cara : [6]
1.
Mengadakan penataan
ulang Lembaga Yudikatif
2.
Peningkatan kualitas
hakim, dan;
3.
Penataan ulang
perundang-undangan yang berlaku.
E. Konsep Operasional
Guna menghindari kesalahan
dalam menafsirkan dan memahami arah kajian tentang penelitian ini, maka penulis
memberikan penjelasan atas istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian
ini sesuai dengan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
Tinjauan adalah
mengamati/mempertimbangkan kembali, serta mempelajari dengan cermat.
Yuridis, adalah menurut hukum, secara hukum.[7]
Hak
Politik adalah
hak memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan dan hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan.
Warga
Negara Indonesia adalah Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan
Undang-undang sebagai warga negara.
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
4/PUU-VI 2009 adalah suatu
pernyataan oleh hakim yang diucapkan
dipersidangan yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa mengenai
pemilihan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah dengan adanya syarat
pembatasan.
F. Metode
Penelitian
Untuk mendapatkan suatu data yang akurat dan relevan
dengan permasalahan yang diteliti, maka penulis mengunakan metodelogi
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jika dilihat dari jenisnya penelitian ini tergolong
kedalam jenis penelitian Hukum Normatif,.
Dengan pendekatan studi perpustakan (library
research)
2. Data dan Sumber Data
Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Data utama dalam penelitian ini
adalah Berkas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009.
b. Bahan Hukum Sekunder
Data yang terkumpul untuk mendukung penelitian ini dengan
mengadakan penelitian kepustakaan guna mendapat teori berupa pendapat dan
tulisan dari para ahli dan data-data yang penulis peroleh.
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa bahan yang mempunyai fungsi untuk memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder tersebut, seperti kamus
hukum maupun kamus bahasa dan sebagainya.
3. Analisis Data dan Metode Penarikan Kesimpulan
Setelah data
terkumpul baik data primer maupun data sekunder serta data tersier, lalu data
tersebut diolah dan dipelajari dan dikelompokkan /diklasifikasikan sesuai
dengan pokok permasalahan yang diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk
kalimat-kalimat yang sederhana dan sistematis. Selanjutnya data tersebut
dianalisa dan dibahas lagi serta dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum,
teori-teori hukum serta pendapat para ahli, kemudian dilakukan penelitian
terhadap berkas Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
4/PUU-VI/2009.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Hak-Hak Politik Warga
Negara Indonesia
a. Pengertian Hak-Hak Politik Warga Negara Indonesia
Hak-hak
politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang
anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri
dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat didevinisikan
sebagai hak-hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola
masalah-masalah negara atau pemerintahnya.[8]
Hak-hak
asasi manusia, oleh PBB dalam sidang umumnya diistana
Chaillot Paris, pada Tanggal 10 Desember
1984. dalam Piagam
HAM tersebut telah
berhasil ditetapkan secara rinci beberapa hak politik sebagai berikut :
-
hak untuk mempunyai dan menyatakan pendapat
tanpa mengalami gangguan ( Pasal 19 ),
-
hak atas kebebasan
berkumpul dan berserikat secara tenang ( Pasal 20 ayat
-
hak untuk ikut serta
dalam pemerintahan negara ( Pasal 21 ayat 1 ),
-
hak untuk ikut serta dalam Pemilu yang
dilakukan secara periode, serentak, wajar, bebas, dan rahasia (Pasal 21 ayat 3
) dan lain-lain.
B. Pengujian Undang-Undang dan Negara Hukum
Tidak
ada satu undang-undang pun yang kini dapat dibentuk sesuka hati atau kehendak
pribadi para legislator, melainkan substansi undang-undang tersebut harus pula
tunduk dan patuh kepada norma-norma konstitusi. Jika tidak, maka undang-undang
tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme pengujian undang-undang (constitutional
review) di hadapan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah makna tersirat mengapa
antara democracy (kedaulatan rakyat) dan nomocratie (kedaulatan
hukum) harus dapat berjalanan secara beriringan, saling menopang, dan tidak
bertentangan satu dengan lainnya.
C. Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
4/PUU-VII/2009
Dari
hasil putusan Mahkamah Konstitusi adapun yang menjadi dasar
pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi sebelum pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan Nomor
4/ PUU-VII/2009, sudah pasti mempunyai beberapa pertimbangan yang benar-benar
matang dalam memutus suatu perkara. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi
mempunyai dasar pertimbangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut[9]:
a.
Bahwa maksud dan tujuan
permohonan adalah mengenai pasal pengujian konstitusional pasal 12 huruf g dan
pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD, serta pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemda.
b.
Bahwa Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1)
huruf a UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.
Bahwa sehingga Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
d.
Bahwa dalam kedudukan
hukum (legal standing) pemohon
menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
e.
Bahwa Mahkamah
Konstitusi bependapat pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo terhadap UUD 1945.
f.
Bahwa pemohon
mendalilkan pasal a quo bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
g.
Bahwa untuk memperkuat
dalil-dalilnya, pemohon mengajukan alat bukti surat (bukti P-1 sampai dengan
bukti P-9) juga mengajukan ahli Dr. Mudzakkir, SH.,MH. yang memberikan
keterangan di sidang pleno pada tanggal 10 Maret 2009.
h.
Bahwa dalam putusan
No.14-17/ PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007, mahkamah dalam amar putusannya
telah telah menolak pengujian pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemda, pasal 6 huruf E UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil
presiden, pasal 18 ayat (1) huruf d UU MK, pasal 7 ayat (2) huruf d UU No. 5
Tahun 2004 tentang MA, dan pasal 13 huruf g No. 16 Tahun 2006 tentang badan
pemeriksa keuangan.
Berdasarkan
pertimbangan di atas maka keputusan yang akhirnya dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada UUD 1945 yakni
Pasal 27 (1), Pasal 28c (1), Pasal 28d (1) dan (3), Berdasarkan dasar-dasar
hukum diatas, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma hukum yang
berbunyi: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam pidana penjara selama 5 Tahun/lebih” Yang terdapat dalam Pasal 12 huruf g
dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif, Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda bertentangan
dengan UUD 1945[10].
Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi
syarat.
D. Upaya Hukum Yang
Dapat Dilakukan Oleh Warga Negara Indonesia Setelah Hak Politiknya Dicabut
1.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang
ada setelah adanya amandemen UUD 1945. pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah
mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan
konstitusi/UUD. Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki
arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini
karena segala ketentuan/kebijakan yang dibuat penyelenggara Negara dapat di
ukur dalam hal konstitusional/tidak oleh MK. Ketentuan umum tentang MK diatur dalam Pasal 24C UUD 1945[11]:
2.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Lembaga nasional hak asasi
manusia merupakan sebuah badan yang menangani persoalan-persoalan hak asasi
manusia, terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Di
Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), yang pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50
tahun 1993 dan dalam
perkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.
Forum Regional dan Internasional
Forum internasional dalam
rangka perlindungan hak asasi manusia bilamana upaya yang dilakukan di forum
nasional tidak mendapat tanggapan. Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakkan
hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya
hukum Indonesia terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum
menggunakan forum di tingkat regional maupun internasional.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pemulihan Hak Politik Menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009
Pada
Prinsipnya Narapidana yang telah menjalani pidananya, merupakan warga negara
yang bebas sehingga memiliki hak sama dengan warga negara lainnya untuk
menduduki sebuah jabatan politik. Demikian dikemukakan mantan narapidana
Mulyana W Kusumah[12], Mulyana mengatakan hal
tersebut terkait dengan larangan terhadap mantan narapidana untuk menduduki
jabatan politik dan publik yang tertuang dalam sejumlah undang-undang. Menurut
Mulyana, larangan semacam itu merupakan sebuah pelanggaran hak konstitusional
warga negara dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Hak-hak
konstitusional para mantan narapidana (napi), harus dipulihkan sebagaimana yang
dijamin oleh UUD 1945, lebih lanjut Mulyana menjelaskan, terdapat sejumlah
perundang-undangan yang merumuskan syarat bagi calon pejabat publik dan negara
yang melanggar hak konstitusional warga negara, yakni tidak pernah dijatuhi
hukuman penjara. Di antaranya UU Nomor
23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6 (f) UU
tersebut, kata Mulyana, mencantumkan syarat calon presiden dan wakil presiden
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan pidana yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah juga mencantumkan syarat yang sama bagi calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah. Demikian pula dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggara Pemilu, disebutkan syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara
bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum pusat, provinsi, kabupaten dan kota.
Padahal, Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menegaskan setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Lebih tegas lagi, urai
Mulyana, Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
sama di hadapan hukum.[13]
Pakar
pemasyarakatan dari Universitas Indonesia Thomas Sunaryo[14] mengharapkan agar ke
depannya perlu ada pengawasan dan evaluasi kebijakan badan-badan negara yang
mendiskriminasikan narapidana yang telah menjalani hukuman melalui standar HAM.
Namun Sri Bintang Pamungkas justru mengusulkan agar dibuat UU pemulihan bagi
mantan narapidana. "Hak pemulihan itu dapat diberikan kepada semua
narapidana, kecuali mereka yang dituntut hukuman mati.[15]
Pasca Putusan MK No. 4 /PUU-VII/2009 tentang diperbolehkannya
mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, DPD dan
Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka
menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang
dicacat moral dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat
memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan; apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.[16]
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan; apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.[16]
Dari penjelasan di atas dapat dipetik satu hal bahwa putusan
MK No. 4/PUU-VII/2009 yang membolehkan mantan narapidana sebagai anggota
legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat-syarat tertentu, telah
mengembalikan hak-hak rakyat yakni hak seorang mantan narapidanan untuk ikut
berpartisipasi dalam politik dan hak yang sama dihadapan hukum. Sebab dia sudah
bertaubat dan telah membayar semua kesalahannya di masa lalu yaitu dengan dipidana
penjara.
Dengan demikian seorang mantan narapidana boleh memjadi
anggota legislatif, DPD dan kepala daerah apabila ia telah bertaubat seperti
apa yang disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni berlaku untuk jabatan
publik yang dipilih (elected officials),
berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) Tahun sejak terpidana
selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Dan tidak
diberi wewenang pada jabatan yang membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari
masyarakat seprti jabatan Hakim, bagian keuangan negara dan sebagainya.
Dengan munculnya putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009, hal tersebut
disebabkan atas permohonan yang diajukan oleh Robertus Aji calon legislatif
untuk DPRD Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dan PDI Perjuangan yang gagal
karena terganjal kasus pidana. Dia menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan
Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemda, telah berlaku tidak adil padanya. Padahal secara potensial
sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal
28d ayat (1) dan (3). Keputusan MK tentang diperbolehkannya mantan narapidana
untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah)
ternyata mengundanag kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari
orang awam sampai dengan orang ahli hukum dan politik. Berbagai argumen tentang
putusan MK tersebut muncul di berbagai media massa baik elektronik maupun media
cetak.
Dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Legislatif, Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda
bertentangan dengan UUD 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sepanjang tidak memenuhi syarat. Sebab jika norma hukum yang terkandung dalam
Pasal a quo tetap diberlakukan tanpa
syarat-syarat tertentu dapat menegasi atau mengingkari prinsip penamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak melanggar hak seorang warga
negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil,
serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum dan hak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan. Sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama
Pasal-Pasal sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d
ayat (1) dan Pasal 28d ayat (3).
Dari penjelasan Pasal-Pasal di atas jika diteliti secara
seksama memang undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang Pemda
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dilarangnya seorang mantan narapidana
menjadi pejabat publik (DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah) berarti sama dengan
yang dianjurkan dalam Islam karena Islam tidak pernah membeda-bedakan umat
manusia dalam hal kedudukannya sebagai apa atau yan-g lainnya khususnya dalam
pemerintahan. Hal tersebut jelas disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nur ayat
55 : “Dan Allah Telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik[17]”.
B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
No.4/PUU-VII/2009 Terhadap Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemda
Implikasi
putusan MK terhadap Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (Final),
implikasinya adalah bahwa putusan mahkamah tentang pengujian sebuah undang-undang,
baru berlaku dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap sejak putusan itu selesai dibacakan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu tidak mempunyai
kekuatan berlaku surut atau retroaktif.
Implikasi
yang lain pasca putusan MK No. 4/PUU-VII/2009, yakni pada aspek politik, di
mana MK membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan
publik yang dipilih (elected officials).
Atas
dasar pertimbangan tersebutlah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal-Pasal
yang tercantum dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda bertentangan dengan UUD
1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti
Mahkamah Konstitusi telah membuka lebar kesempatan bagi mantan narapidana untuk
dapat menduduki jabatan publik yang dipilih.
Dengan
kata lain Mahkamah Konstitusi sudah menegakkan keadilan dan menghapus
diskriminasi antar sesama rakyat Indonesia dalam pemerintahan.
Setelah putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, diharapkan tidak ada lagi stigma yang buruk terhadap mentan narapidana, tidak lagi dicurigai, diasingkan, dan dapat diterima dalam masyarakat.
Setelah putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, diharapkan tidak ada lagi stigma yang buruk terhadap mentan narapidana, tidak lagi dicurigai, diasingkan, dan dapat diterima dalam masyarakat.
Sebab
tujuan pemidanaan adalah membebaskan narapidana secara mental dan spiritual.
Dengan tujuan pembebasan tersebut, narapidana seolah-olah mengalami kelahiran
kembali secara mental dan spiritual dan akan melepaskan segala cara berfikir,
kebiasaan, dan gaya kehidupan yang lama. Pemulihan kembali hak-hak dan
kebebasan tersebut ditujukan agar orang yang telah menjalani hukuman dapat
aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
negara yang baik dan bertanggungjawab.[18]
Secara
teoritis, seorang pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana dan menyelesaikan
masa pidananya dengan baik, maka orang tersebut lepas dari segala
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan telah dibayar dengan pemidanaan.[19]
Kalau
masih terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mantan narapidana maka tujuan
pemidanaan tidak tercapai atau gagal. Hal ini terlihat pada Pasal 12 huruf g
dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang telah dibuat oleh para
pembentuk Undang-undang yang masih mendiskriminasikan mantan napi dengan yang
bukan, dan menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang harus dicurigai
tercela, cacat moralnya dan tidak pantas menduduki jabatan publik yang dipilih
(DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden).[20]
Pasca Putusan
MK No. 4 /PUU-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah ternyata
tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa
seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang dicacat moral dan
identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat memberikan cap atau
lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka berpendapat apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka berpendapat apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan adalah sebagai berikut :
1.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang
telah memutuskan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif, dan Pasal 58 huruf f
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga pasca putusan Mahkamah Konstitusi telah memulihkan Hak Politik seorang
mantan narapidana boleh menjadi anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah.
2. Pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009
mengandung implikasi positif dan cukup menggembirakan publik. Implikasi
tersebut adalah mengenai posisi yuridis Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)
huruf g UU No. 10/ 2008 dan Pasal 58 huruf f UU No. 12/ 2008, yakni Pasal-Pasal
a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan karenanya
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi
syarat-syarat tertentu. Selain itu juga berimplikasi pada aspek politik yakni
putusan MK telah membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat
menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials). Dengan kedua implikasi positif
tersebut, maka hak-hak konstitusional mantan narapidana sebagai warga negara
atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya
Pasal 27 (1), Pasal 28c (2), Pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti
dengan warga negara lainnya. Artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga
negara mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.
B. Saran
1.
Kepada pihak-pihak yang bertindak sebagai pelaksana
pesta demokrasi di Indonesia memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
4/PUU-VII/2009 yang telah memulihkan hak-hak politik mantan narapidana dalam
pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan Kepala Daerah, hendaknya dapat dijadikan
landasan konstitusional dalam penyusunan produk peraturan perundang-undangan
sehingga tidak tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap warga Negara di
Indonesia.
2. Diharapkan
kepada pihak-pihak yang bertindak sebagai
pelaksana pesta demokrasi di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 4/PUU-VII/2009 dapat memberikan jaminan bagi warga negara atas perlakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27
(1), Pasal 28c (2), Pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti dengan warga
negara lainnya. Artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga negara
mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-Buku
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2007.
Dahlan Thaib dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, Raja Grafindo, Jakarta, 2004.
Desy Anwar, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru,
Amelia, Surabaya, 2000.
Ellydar Chaidir dan Sudi
Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi,
Total Media, Yogyakarta, 2010
G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RI,
Jakarta, Timus Mas,1955.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum
Dan Negara, terjemahan Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006.
Jazim Hamidi dkk. Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Jogyakarta, 2009.
Jimly Ashiddiqie. Konsolidasi naskah hukum Undang-undang Dasar RI tahun 1945, Jakarta, 2002.
……....Model-model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Jakarta.
……… Teori Hans Kelsen tentang
Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
J. B. Daliyo, pengantar hokum Indonesia, PT
Prenhallindo, Jakarta, 2001.
Kaelan, Pendidikan Pancasila,
Paradigma, Yogyakarta, 2003.
Mariam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982.
Muhammad Azhary. Negara Hukum, Kencana, Jakarta, 2004.
Morissan. Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta,
2005.
Munir Fuady. Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia Bogor, 2007.
Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
2001.
…………… Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
M.
Yahya harahap. Kekuasaan mahkamah agung
pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali perkara perdata. Sinar grafika.
Jakarta , 2008.
Mujar Ibnu
Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas
Non-Muslim Dalam Komunitas Islam, ( Bandung), angkasa, 2003.
Virginia
Held, Etika Moral ( Pemebenaran Tindakan
Sosial), Erlangga, Jakarta, 1991.
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
2002
Rozali Abdullah, Perkembangan Hak
Asasi Manusia dan Keberadaa Peradilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
Ghalia Indonesia Jakarta, 2001.
R, Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2008.
Soenarko, Susunan Negara Kita I, Penerbit Djambatan, Jakarta,
Tim Penyusun
Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991.
Tjokoroamidjojo, Bintoro, Reformasi Nasional Penyelenggaraan Goor
Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani, Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara. 2003.
Tahir Azhary. Negara Hukum. Bulan Bintang, Jakarta 1992.
B.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang No 12 tahun 2008 perubahan
atas Undang-undang No 32 tahun 2004.tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Dasar hasil Amandemen
1945.
UUHAM PBB tahun 1948 Tentang Hak
Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 2004 No. 8.
Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
C. Artike/Makalah/Disertasi
M. Mahfud MD, The Role of the Constitutional Court in
the Development of Democracy in Indonesia”, makalah
disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape
Town, Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.
D. Internet
Admin. Http// www.Gogle.com. 8 Mei 2010, Jam 09.00 Wib
Muliadi
Nur. Tujuan Hukum, Http//pojok hukum
blogspot.com. 13 Mei 2010, Jam 11.00 Wib.
Saifaul
Qulub. Http//www.Gogle.com. 13 Mei 2010. Jam 10.00 Wib.
A
Hakim G Nusantara, Http//www. Gogle.com, 12 Mei
2010, Jam 10.30.Wib
www.Gogle.com. Kompilasi peraturan perundang-undangan yang dikrimiatif, 8 Januari 2011,
Jam 09.00 Wib.
[1] Lihat UUD
1945 Pasal 28I ayat 2
[4] Tim penyusun
kamus,Kamus Besar BahasaIindonesia,Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua,1991.hlm.521
[5] Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi,
Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005, Hlm. 105.
[6] Titik Triwulan
Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta,
2008. Hlm. 246-247.
[9] Lihat Berkas Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4 /PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah
[10] Lihat Berkas putusan
Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah
[12] Mulyana W
Kusumah, dalam diskusi publik" Pemulihan
Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1),
2009.
[14] Thomas
Sunaryo, dalam diskusi publik" Pemulihan
Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1), 2009.
[15] Sri Bintang
Pamungkas, dalam diskusi publik" Pemulihan
Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1),
2009.
[16] Rezka Hutama, Analisis Konsep Siyasah Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, Http/www.Google.com,
Tanggal 17 April 2011, Jam 21.00 Wib