Kamis, 18 Juni 2015

hak poltik warga negara

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Balakang
            Pembatasan terhadap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat baik, dengan tetap melarangnya mengikuti pencalonan menjadi pejabat publik, adalah suatu penghukuman berlanjut tanpa batas yang sangat tidak adil (unlimited and unfair sentencing) adalah tidak adil dan tidak konsitusional menghukum seseorang dengan merampas hak politiknya dan haknya untuk berbakti ke masyarakat melalui pengabdiannya, karena pengabdian kepada masyarakat adalah suatu sifat alamiah yang tidak dapat dirampas oleh negara (being a social creature is an inalienable right), apalagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah berlangsung satu kali dalam lima tahun, sehingga pembatasan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda, khususnya syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, telah menzalimi hak konstitusional warga negara dengan perlakuan diskriminatif yang dijamin dan dilindungi dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.[1]
   Prinsip Negara Kedaulatan Rakyat telah diakomodir berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 khusus untuk persyaratan tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang sedangkan syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip Negara Hukum[2]. (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) yang menganut asas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas tidak diskriminatif, asas memperoleh kesempatan yang sama, asas keadilan dan asas proporsionalitas.[3]
Dari uraian singkat di atas penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam, mengenai, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VI/2009 Terhadap Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Anggota Legislatif, DPD dan Kepala Daerah dengan judul, “Tinjauan Yuridis Hak Politik Warga Negara Indonesia Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VI/2009.(Studi Kasus).   

B. Masalah Pokok
            Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas memerlukan suatu usaha dari penulis. Dan karenanya penelitian ini dibatasi pada :
1.      Bagaimanakah pemulihan hak politik menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009
2.      Bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 terhadap  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
            1. Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui Bagaimanakah pemulihan hak politik menurut Putusan Mahkamah Konstitusi?
b.      Untuk mengetahui implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 terhadap  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
      2. Manfaat Penelitian
a.       Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis tentang hilangnya dan pemulihan hak politik WNI, implikasi putusan mahkamah konstitusi No.4 / PUU-VI/2009 terhadap  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
b.      Sebagai bahan kepustakaan atau literatur pendukung bagi peneliti yang dapat diaplikasikan untuk masa depan.
c.       Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan penulis kepada civitas akademika Universitas Islam Riau khususnya Program Magister Ilmu Hukum.

D. Kerangka Teori
            1. Teori Konstitusi
                        Secara etimologi antara kata” konstitusi” “konstitusional” dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama namun, penggunaan dan penerapan berbeda, konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan manajemen ketata negaraan (Undang-undang Dasar dan sebagainya), atau Undang-undang suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijaka) tersebut adalah tidak konstitusional, berbeda hal nya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[4]
            2. Teori Negara Hukum
                        Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 1 Ayat 3 ” Negara Indonesia adalah Negara Hukum, keinginan bagi terwujudnya negara hukum dipertegas lagi dalam Pasal 27 Ayat 1 yang mengatakan ” Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law yang merupakan hak demokrasi yang fundamental, juga mengaskan kewajiban warga negara untuk menjungjung tinggi hukum yang merupakan syarat langgengnya negara.[5]
            3. Teori Kekuasaan Kehakiman
                        Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum, prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya kearah tersebut dialakukan dengan cara : [6]
1.        Mengadakan penataan ulang Lembaga Yudikatif
2.        Peningkatan kualitas hakim, dan;
3.        Penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.

E. Konsep Operasional
            Guna menghindari kesalahan dalam menafsirkan dan memahami arah kajian tentang penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan atas istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian ini sesuai dengan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
            Tinjauan adalah mengamati/mempertimbangkan kembali, serta mempelajari dengan cermat.
Yuridis, adalah menurut hukum, secara hukum.[7]
            Hak Politik adalah hak memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan.
            Warga Negara Indonesia adalah Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan Undang-undang sebagai warga negara.
            Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 4/PUU-VI 2009 adalah suatu pernyataan  oleh hakim yang diucapkan dipersidangan yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa mengenai pemilihan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah dengan adanya syarat pembatasan.

F. Metode Penelitian
            Untuk mendapatkan suatu data yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka penulis mengunakan metodelogi penelitian sebagai berikut :
            1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jika dilihat dari jenisnya penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian Hukum Normatif,. Dengan pendekatan studi perpustakan (library research)
            2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer
Data utama dalam penelitian ini adalah Berkas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009.
b. Bahan Hukum Sekunder
Data yang terkumpul untuk mendukung penelitian ini dengan mengadakan penelitian kepustakaan guna mendapat teori berupa pendapat dan tulisan dari para ahli dan data-data yang penulis peroleh.
c. Bahan Hukum Tersier
Berupa bahan yang mempunyai fungsi untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder tersebut, seperti kamus hukum maupun kamus bahasa dan sebagainya.
3. Analisis Data dan Metode Penarikan Kesimpulan
Setelah data terkumpul baik data primer maupun data sekunder serta data tersier, lalu data tersebut diolah dan dipelajari dan dikelompokkan /diklasifikasikan sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang sederhana dan sistematis. Selanjutnya data tersebut dianalisa dan dibahas lagi serta dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum, teori-teori hukum serta pendapat para ahli, kemudian dilakukan penelitian terhadap berkas Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 4/PUU-VI/2009.


BAB II
TINJAUAN UMUM


A. Hak-Hak Politik Warga Negara Indonesia
a. Pengertian Hak-Hak Politik Warga Negara Indonesia
            Hak-hak politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat didevinisikan sebagai hak-hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahnya.[8]
Hak-hak asasi manusia, oleh PBB dalam sidang umumnya diistana Chaillot Paris, pada Tanggal 10 Desember 1984. dalam Piagam HAM tersebut telah berhasil ditetapkan secara rinci beberapa hak politik sebagai berikut :
-           hak untuk mempunyai dan menyatakan pendapat tanpa mengalami gangguan ( Pasal 19 ),
-          hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara tenang ( Pasal 20 ayat
-          hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negara ( Pasal 21 ayat 1 ),
-           hak untuk ikut serta dalam Pemilu yang dilakukan secara periode, serentak, wajar, bebas, dan rahasia (Pasal 21 ayat 3 ) dan lain-lain.


B. Pengujian Undang-Undang dan Negara Hukum
Tidak ada satu undang-undang pun yang kini dapat dibentuk sesuka hati atau kehendak pribadi para legislator, melainkan substansi undang-undang tersebut harus pula tunduk dan patuh kepada norma-norma konstitusi. Jika tidak, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme pengujian undang-undang (constitutional review) di hadapan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah makna tersirat mengapa antara democracy (kedaulatan rakyat) dan nomocratie (kedaulatan hukum) harus dapat berjalanan secara beriringan, saling menopang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.

C. Tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009
Dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi adapun yang menjadi dasar pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi sebelum pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 4/ PUU-VII/2009, sudah pasti mempunyai beberapa pertimbangan yang benar-benar matang dalam memutus suatu perkara. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi mempunyai dasar pertimbangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut[9]:
a.    Bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pasal pengujian konstitusional pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
b.    Bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.    Bahwa sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
d.   Bahwa dalam kedudukan hukum (legal standing) pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
e.    Bahwa Mahkamah Konstitusi bependapat pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo terhadap UUD 1945.
f.     Bahwa pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
g.    Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, pemohon mengajukan alat bukti surat (bukti P-1 sampai dengan bukti P-9) juga mengajukan ahli Dr. Mudzakkir, SH.,MH. yang memberikan keterangan di sidang pleno pada tanggal 10 Maret 2009.
h.    Bahwa dalam putusan No.14-17/ PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007, mahkamah dalam amar putusannya telah telah menolak pengujian pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemda, pasal 6 huruf E UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden, pasal 18 ayat (1) huruf d UU MK, pasal 7 ayat (2) huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA, dan pasal 13 huruf g No. 16 Tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka keputusan yang akhirnya dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada UUD 1945 yakni Pasal 27 (1), Pasal 28c (1), Pasal 28d (1) dan (3), Berdasarkan dasar-dasar hukum diatas, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma hukum yang berbunyi: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara selama 5 Tahun/lebih” Yang terdapat dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif, Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945[10]. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat.

D. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Warga Negara Indonesia Setelah Hak Politiknya Dicabut

1.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi/UUD. Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan/kebijakan yang dibuat penyelenggara Negara dapat di ukur dalam hal konstitusional/tidak oleh MK. Ketentuan umum tentang MK diatur dalam Pasal 24C UUD 1945[11]:
2.      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993 dan dalam perkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.      Forum Regional dan Internasional
Forum internasional dalam rangka perlindungan hak asasi manusia bilamana upaya yang dilakukan di forum nasional tidak mendapat tanggapan. Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum Indonesia terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum di tingkat regional maupun internasional.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pemulihan Hak Politik Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/ PUU-VI/2009

Pada Prinsipnya Narapidana yang telah menjalani pidananya, merupakan warga negara yang bebas sehingga memiliki hak sama dengan warga negara lainnya untuk menduduki sebuah jabatan politik. Demikian dikemukakan mantan narapidana Mulyana W Kusumah[12], Mulyana mengatakan hal tersebut terkait dengan larangan terhadap mantan narapidana untuk menduduki jabatan politik dan publik yang tertuang dalam sejumlah undang-undang. Menurut Mulyana, larangan semacam itu merupakan sebuah pelanggaran hak konstitusional warga negara dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Hak-hak konstitusional para mantan narapidana (napi), harus dipulihkan sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945, lebih lanjut Mulyana menjelaskan, terdapat sejumlah perundang-undangan yang merumuskan syarat bagi calon pejabat publik dan negara yang melanggar hak konstitusional warga negara, yakni tidak pernah dijatuhi hukuman penjara.  Di antaranya UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6 (f) UU tersebut, kata Mulyana, mencantumkan syarat calon presiden dan wakil presiden tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mencantumkan syarat yang sama bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Demikian pula dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara Pemilu, disebutkan syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Padahal, Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menegaskan setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Lebih tegas lagi, urai Mulyana, Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum.[13]
Pakar pemasyarakatan dari Universitas Indonesia Thomas Sunaryo[14] mengharapkan agar ke depannya perlu ada pengawasan dan evaluasi kebijakan badan-badan negara yang mendiskriminasikan narapidana yang telah menjalani hukuman melalui standar HAM. Namun Sri Bintang Pamungkas justru mengusulkan agar dibuat UU pemulihan bagi mantan narapidana. "Hak pemulihan itu dapat diberikan kepada semua narapidana, kecuali mereka yang dituntut hukuman mati.[15]
Pasca Putusan MK No. 4 /PUU-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang dicacat moral dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan; apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.[16]
Dari penjelasan di atas dapat dipetik satu hal bahwa putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 yang membolehkan mantan narapidana sebagai anggota legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat-syarat tertentu, telah mengembalikan hak-hak rakyat yakni hak seorang mantan narapidanan untuk ikut berpartisipasi dalam politik dan hak yang sama dihadapan hukum. Sebab dia sudah bertaubat dan telah membayar semua kesalahannya di masa lalu yaitu dengan dipidana penjara.
Dengan demikian seorang mantan narapidana boleh memjadi anggota legislatif, DPD dan kepala daerah apabila ia telah bertaubat seperti apa yang disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) Tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Dan tidak diberi wewenang pada jabatan yang membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat seprti jabatan Hakim, bagian keuangan negara dan sebagainya.
Dengan munculnya putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009, hal tersebut disebabkan atas permohonan yang diajukan oleh Robertus Aji calon legislatif untuk DPRD Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dan PDI Perjuangan yang gagal karena terganjal kasus pidana. Dia menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda, telah berlaku tidak adil padanya. Padahal secara potensial sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d ayat (1) dan (3). Keputusan MK tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah) ternyata mengundanag kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari orang awam sampai dengan orang ahli hukum dan politik. Berbagai argumen tentang putusan MK tersebut muncul di berbagai media massa baik elektronik maupun media cetak.
Dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor  10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat. Sebab jika norma hukum yang terkandung dalam Pasal a quo tetap diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasi atau mengingkari prinsip penamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak melanggar hak seorang warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama Pasal-Pasal sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d ayat (1) dan Pasal 28d ayat (3).
Dari penjelasan Pasal-Pasal di atas jika diteliti secara seksama memang undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dilarangnya seorang mantan narapidana menjadi pejabat publik (DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah) berarti sama dengan yang dianjurkan dalam Islam karena Islam tidak pernah membeda-bedakan umat manusia dalam hal kedudukannya sebagai apa atau yan-g lainnya khususnya dalam pemerintahan. Hal tersebut jelas disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nur ayat 55 : “Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik[17]”.

B.  Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 Terhadap  Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemda
      
Implikasi putusan MK terhadap Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Final), implikasinya adalah bahwa putusan mahkamah tentang pengujian sebuah undang-undang, baru berlaku dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap sejak putusan itu selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif.
Implikasi yang lain pasca putusan MK No. 4/PUU-VII/2009, yakni pada aspek politik, di mana MK membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Atas dasar pertimbangan tersebutlah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti Mahkamah Konstitusi telah membuka lebar kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih.
Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi sudah menegakkan keadilan dan menghapus diskriminasi antar sesama rakyat Indonesia dalam pemerintahan.
Setelah putusan No
mor 4/PUU-VII/2009, diharapkan tidak ada lagi stigma yang buruk terhadap mentan narapidana, tidak lagi dicurigai, diasingkan, dan dapat diterima dalam masyarakat.
Sebab tujuan pemidanaan adalah membebaskan narapidana secara mental dan spiritual. Dengan tujuan pembebasan tersebut, narapidana seolah-olah mengalami kelahiran kembali secara mental dan spiritual dan akan melepaskan segala cara berfikir, kebiasaan, dan gaya kehidupan yang lama. Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan tersebut ditujukan agar orang yang telah menjalani hukuman dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.[18]
Secara teoritis, seorang pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana dan menyelesaikan masa pidananya dengan baik, maka orang tersebut lepas dari segala kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan telah dibayar dengan pemidanaan.[19]
Kalau masih terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mantan narapidana maka tujuan pemidanaan tidak tercapai atau gagal. Hal ini terlihat pada Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang telah dibuat oleh para pembentuk Undang-undang yang masih mendiskriminasikan mantan napi dengan yang bukan, dan menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang harus dicurigai tercela, cacat moralnya dan tidak pantas menduduki jabatan publik yang dipilih (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden).[20]
Pasca Putusan MK No. 4 /PUU-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang dicacat moral dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan
, sehingga mereka berpendapat apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Adapun yang menjadi kesimpulan adalah sebagai berikut :
1.      Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang telah memutuskan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif, dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pasca putusan Mahkamah Konstitusi telah memulihkan Hak Politik seorang mantan narapidana boleh menjadi anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah.
2.      Pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009 mengandung implikasi positif dan cukup menggembirakan publik. Implikasi tersebut adalah mengenai posisi yuridis Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10/ 2008 dan Pasal 58 huruf f UU No. 12/ 2008, yakni Pasal-Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Selain itu juga berimplikasi pada aspek politik yakni putusan MK telah membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials). Dengan kedua implikasi positif tersebut, maka hak-hak konstitusional mantan narapidana sebagai warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 (1), Pasal 28c (2), Pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti dengan warga negara lainnya. Artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga negara mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.

B. Saran
1.      Kepada pihak-pihak yang bertindak sebagai pelaksana pesta demokrasi di Indonesia memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang telah memulihkan hak-hak politik mantan narapidana dalam pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan Kepala Daerah, hendaknya dapat dijadikan landasan konstitusional dalam penyusunan produk peraturan perundang-undangan sehingga tidak tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap warga Negara di Indonesia.
2.      Diharapkan kepada pihak-pihak yang bertindak sebagai pelaksana pesta demokrasi di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dapat memberikan jaminan bagi warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 (1), Pasal 28c (2), Pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti dengan warga negara lainnya. Artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga negara mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.


DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku-Buku
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2007.

Dahlan Thaib dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, Raja Grafindo, Jakarta, 2004.

Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru,  Amelia, Surabaya, 2000.

Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010

G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RI, Jakarta, Timus Mas,1955.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006.

Jazim Hamidi dkk. Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Jogyakarta, 2009.

Jimly Ashiddiqie. Konsolidasi naskah hukum Undang-undang Dasar RI tahun 1945,  Jakarta, 2002.

……....Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta.

……… Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
 
J. B. Daliyo, pengantar hokum Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, 2001.

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2003.

Mariam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982.

Muhammad Azhary. Negara Hukum, Kencana, Jakarta, 2004.

Morissan. Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005.

Munir Fuady. Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia Bogor,  2007.

Moh. Mahfud  MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
…………… Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

M. Yahya harahap. Kekuasaan mahkamah agung pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali perkara perdata. Sinar grafika. Jakarta , 2008.

Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam, ( Bandung), angkasa, 2003.

Virginia Held, Etika Moral ( Pemebenaran Tindakan Sosial), Erlangga, Jakarta, 1991.

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 2002

Rozali Abdullah, Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaa Peradilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Ghalia Indonesia Jakarta, 2001.

R, Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008.

Soenarko, Susunan Negara Kita I, Penerbit Djambatan, Jakarta,

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991.

Tjokoroamidjojo, Bintoro, Reformasi Nasional Penyelenggaraan Goor Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. 2003.

Tahir Azhary. Negara Hukum. Bulan Bintang, Jakarta 1992.


B.       Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No 12 tahun 2008 perubahan atas Undang-undang No 32 tahun 2004.tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Dasar hasil Amandemen 1945.

UUHAM PBB tahun 1948 Tentang Hak Asasi  Manusia

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 2004 No. 8.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


C.  Artike/Makalah/Disertasi

M. Mahfud MD, The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town, Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.


D.  Internet

Admin. Http// www.Gogle.com. 8 Mei 2010, Jam 09.00 Wib

Muliadi Nur. Tujuan Hukum, Http//pojok hukum blogspot.com. 13 Mei 2010, Jam 11.00 Wib.

Saifaul Qulub. Http//www.Gogle.com. 13 Mei 2010. Jam 10.00 Wib.

A Hakim G Nusantara, Http//www. Gogle.com, 12 Mei 2010, Jam 10.30.Wib
www.Gogle.com. Kompilasi peraturan perundang-undangan yang dikrimiatif,      8 Januari 2011, Jam 09.00 Wib.






[1] Lihat UUD 1945 Pasal 28I ayat 2
[2] Lihat UUD 1945 Pasal 1 ayat 2
[3] Lihat UUD 1945 Pasal 1 ayat 3
[4] Tim penyusun kamus,Kamus Besar BahasaIindonesia,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua,1991.hlm.521
[5] Morissan,  Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005, Hlm. 105.
[6] Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, 2008. Hlm. 246-247.
[7]  Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru,  Amelia, Surabaya, 2003, Hlm. 40.

 [8] Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam, Angkasa, Bandung,  2003, Hlm 49
[9] Lihat Berkas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 /PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah
[10] Lihat Berkas putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
[11] Lihat Pasal 24 C Undang-Undang Dasar
[12] Mulyana W Kusumah, dalam diskusi publik" Pemulihan Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1), 2009.
[13] Ibid
[14] Thomas Sunaryo, dalam diskusi publik" Pemulihan Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1), 2009.
[15] Sri Bintang Pamungkas, dalam diskusi publik" Pemulihan Hak Sipil-Politik Mantan Napi" di Jakarta, Suara Karya, Kamis (3/1), 2009.
[16] Rezka Hutama, Analisis Konsep Siyasah Putusan  MK Nomor 4/PUU-VII/2009, Http/www.Google.com, Tanggal 17 April 2011, Jam 21.00 Wib
[17] Lihat Surat An-Nur ayat 55
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid