BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama islam menganjurkan terhadap setiap pemeluknya, terutama bagi kaum pria yang sudah dewasa dan sanggup mandiri supaya melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang disenangi dan dicintai. Dengan perkawinan diharapkan pria dewasa dapat menjaga pandangan matanya dan memelihara kehormatannya. Serta terhindar dari kejahatan hawa nafsunya kepada setiap wanita yang dilihatnya. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Alqur’an dan Sunnah Rassul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang islam.
Disyari’atkannya perkawinan tentu saja banyak mengandung hikmah dan mamfaat. Hikmah perkawinan yang paling pokok ialah membuat seseorang lebih terjaga kehormatan agama dan dirinya kesempurnaan agama seseorang terletak 50% ada pada dirinya sendiri, ketika ia menikah, lebih sempurna 50% lagi, karena setengah dari agama seseorang terletak pada pernikahan[1].
Menurut imam Ghazali bahwa faedah dan hikmah dari perkawinan sangat banyak sekali, diantara bisa membuat keturunan yang sholeh dan sholehah, bisa meredam nafsu jahat, bisa mengikat tali kasih dalam keluarga wawaddah wa rohmah dan segala nafkah yang diberiakan kepada istri akan mendapat pahala seperti pahala seorang pejuang[2].
Dalam ensiklopedia hukun islam jilid IV dijelaskan ada beberapa hikmah yang terkandung dalam suatu perkawinan:
1. Menyalurkan naluri seksual sacara sah dan benar. Secara alami naluri yang sah dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual[3]. Agama islam mengajarkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam hal penyaluran naluri seksual adalah melalui jenjang pekawinan sehingga segala akibat negatif yang diakibatkan penyaluran naluri seksual yang tidak benar, dapat dihindari sedini mungkin. Mayoritas ualama figih menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya[4].
2. Cara yang paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah.
3. Menyalurkan naluri kebapakan dan keibuan. Naluri kebapakan dan keibuan akan berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai dewasa, seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak-anak, sehingga memberi motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tangung-jawab.
5. Membagi tanggung-jawab antara suami dan istri
6. Menyatukan dua keluarga yang besar. Sehingga akan terbentuk keluarga baru yang lebih baik
7. Memperpanjang usia. Berdasarkan penelitian maslah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1958 menujukan:
“ bahwa suami istri kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya”[5].
Dari uraian diatas mengenai hikmah perkawinan jelaslah bahwa perkawinan itu mempunyai banyak kelebihan-kelebihan yang diperoleh oleh pasangan suami istri.
Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Hukum adat tidak mengenal batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula.[6] Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.
Apabila batasan umur minimal itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.[7]
Hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat[8]. Adanya perkawinan di bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Walaupun sekarang ini sudah diberlakukan Udang-undang No. 1 Tahun 1974 ( Undang-Undang perkawinan) yang bersifat nasional harus berlaku bagi seluruh warga Negara dan penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun ternyata disana sini diberbagai daerah dan berbagai golongan masyrakat Indonesia masih memberlakukan hokum perkawinan adat, Apalagi bahwa undang –undang yang dimaksud hamya mengatur pokok-poko perkawinan saja dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus stempat.[9]
Dalam Undang-undang perkawinan nasional tersebut tidaklah diatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan bentu-bentuk perkawinan, cara peminangan (pelamaran) dilakukan, upacara-upacar perkawinan dan lainnya, sehingga semua masalah yang disebutkan masih berada dalam ruang lingkup hukum perkawinan adat dan selalu dilaksanakan oleh setiap waga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa dilakukan, masih memberikan kemungkinan penyimpangannya dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.[10]
Adanya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk kawin menurut hukum adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, membuat penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,dan faktor-faktor dilakukan perkawinan dibawah umur.
B. POKOK MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah perkawinan di bawah umur menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?
2 2. Faktor-faktor Terjadinya Pernikahan Dibawah Umur
C. METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan suatu data yang akurat dan relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka penulis mengunakan metodelogi penelitian Hukum Normative,. Dengan pendekatan studi perpustakan ( library research)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Hukum Adat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974?
A. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Hukum Adat
Prof. Dr Soekanto,SH. Mengatakan bahwa perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja, akan tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarganya.[11]
Perkawinan adalah perisriwa yang amat penting dalam perikehidupan masysarakat kita , sebab masalah perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga kedua bekah pihak dari orang tua, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Prof. Dr. R. Van Dijk perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkut paut dengan urusan familie, keluarga, msayarakat, martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti masyarakat barat (eropa) yang modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka yang akan kawin itu saja[12].
Menurut Hilman Hadikusuma, S.H., asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus syah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
Sedangkan Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah:
1. Asas suka rela Menurut pasal 6 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan harus didasari persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyai maksud bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon suami-istri atau dengan kata lain tidak ada pihak yang memaksa dari manapun.
2. Partisipan Keluarga.Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka peran orang tua atau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutama dalam hal pemberian ijin untuk melaksanakan perkawinan.
3. Perceraian dipersulit Ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang perceraian terdapat dalam pasal 39 dan 41 UU No 1 tahun 1974, disini dijelaskan bahwa pasangan suami-istri yang hendak bercerai tidak begitu sajadilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkan baik bagidiri masing-masing dan juga bagi anak-anaknya, bagi yang sudah mempunyai anak
4. Asas monogami penegasan asas monogami ini terdapat pada pasal 27
Perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekedar acara persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan allah lainnya, akan tetapi perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal[13]. Bahkan dalam pandangan masyarakat adat bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai.[14]
Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat memepertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan bahwa fungsi dari suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia pun merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.
Tujuan pokok dari perkawinan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan, untuk kebahagiaan rumah tangga, keluarga dan untuk memperoleh nilai-nilai adat serta kedamaian dan mempertahankan kewarisan. Hubungan suami isteri setelah perkawinan bukanlah suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban/ somah/ keluarga, dan merupakan satu ketunggalan.[15]
Menurut hukum adat suatu ikatan perkawinan bukan saja berarti bahwa suami dan istri harus saling bantu mambanatu dan melengkapi kehidupan ruamah tangganya saja akan tetapi juga berarti ikut sertanya orang tua, keluarga dan kerabat kedua belah pihak untuk menunjang kebahagian dan kekekalan hidup rumah tangga keluarga mereka.
Dengan demikin Arti dan fungsi perkawinan menurut hokum adat, pengertian perkawinan lebih luas dari penegrtian perkawinan menurut hukum perundang-undangan. Dengan demikian maka pelaksanaan perkawinan baik bagi pria dan wanita yang belum cukup umur maupun yang telah cukup umur dan mampu untuk hidup mandiri senantiasa harus dicampuri oleh orang tuanya, keluarganya dan kerabat-kerabatnya dantara kedua belah pihak.
Perkawinan yang dilaksanakan oleh sendiri (kedua calon) tanpa campur tangan orang tua, keluarga dan kerabat, menurut pandangan masyarakat adat adalah merupakan perkawinan yang bertentangan dengan hokum adat.
Aturan-aturan hokum adat perkawinan dibeberapa daerah diIndonesia berbeda-beda karena sifat kemasyarakatannya, adat-istiadat, agama da kepercayaan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda, serta hal itu juga dikarenakan juga oleh adanya kemajuan dan perkembangan jaman. Perkembangan dan perubahan yang terjadi diantara masyarakat adat yang satu degan masyarakat yang lain tidak seimbang.
Dibeberapa daerah seperti kerinci, dan suku toraja dalam hokum adat tidak melarang dilakukannya perkawinan orang-orang yangn belum cukup umur (masih kanak-kanak) akan tetapi disuatu daerah tertentu seperti bali perkawinan yang dilakukan dibawah umur merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.
Didalam hokum adat, perkawinan anak –anak baru akan dilaksanakana apabila anak telah mencapai umur yang pantas yaitu 15 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Apabila terjadi perkawinan dibawah umur 15 tahun bagi perempuan dan dibawah umur 18 tahun bagi laki-laki maka setelah menikah, hidup bersama antara mereka keduanya ditangguhkan sampai mencapai usia yang telah ditentukan. Perkawinan semacam ini dinamakan kawin gantung.
Apabila kedua pasangan yang telah melakukan perkawinan dibawah umur telah mencapai umur yang pantas maka perkawinannya akan disusul dengan perkawinan adat. Setelah upacara pernikahan menurut hukum adat masih diwajibkan diselenggarakan pesta bimbang dan sebelum dilaksanakannya pesta tersebut maka mempelai belum dapat campur sebagimana layaknya suami-istri, bahkan direjang apabila belum dilaksanakannya pesta bimbang maka hal ini dianggap sebagai melakukan zinah menurut hukum adat.
A.Van Genep (Perancis) mengatakan semua upacara-upacara perkawinan “rites depassage” yaitu upacara-upacara peralihan perubahan status dari kedua mempelai. Setelah melalui upacara-upacara itu kedua belah pihak menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama suami isteri.[16]
Prof. Hilman Hadikusuma, menegaskan latar belakang perkawinan dibawah umur antara lain bersifat dorongan atau paksaan adalah dkarenakan:[17]
1. Adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia , karena perjanjian yang telah dibuat oleh orang tua kedua belah pihak.
2. Kedudukan seseorang sebagai kepala kekerabatan yang akan mempenagruhi kegoncangan dalam kekerabatan dan pewarisanatau karena kedudukan terhdap harta kekayaan.
3. Terjadinya sengketa antar kerabat untuk dapat memelihara kerukunan dan kedamaianantar kerabat bersangkutan
4. Untuk maksud mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lainyang tidak dapat disetujuui orang tua bersangkutan.
Perkawinan dibawah umur merupakan perkawinan antara gadis yang belum dewasa dengan sorang pria yang dewasa atau dengan pria yang belum dewasa, didalam hukum adat tidak melarang perkawinan yang dilakukan dibawah umur untuk daerah tertentu dan ada pula sebagian daerah yang melarang adanya perkawinan dibawah umur karena mereka belum diamggap pantas untuk berumah tangga.
B. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Didalam hukum positif sudah diatur tentang perkawinan, namum berkembangnya masalah tentang perkawinan menimbulkan benturan antara fakta yang ada dilapangan dengan hukum adat dan hukum positif. Hukum negara yang mengatur perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974. Tetapi hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah bertolak belakang dengan hukum positif tersebut.
Prof. Hilman Hadikusuma bahwa hukum adat itu mengikuti masyarakatnya, selama masyarakat masih tetap mempertahankan sesuatu perbuatan adat sebagai suatu kaharusan maka perbuatan itu adalah perbuatan hokum. Kemungkinan sesuatu hukum adat itu dapat dihapus oleh hukum perundang-undangan apabila masyarakat adat yang bersangkutan tidak lagi mempertahankannya. Jadi tergantung pada kesadaran hukum masyarakat yang bersangkutan.
Jika melihat dari awal dimana hukum yang berlaku di negara kita saat ini terlahir karena adanya hukum adat. Seiring berkembangnya zaman kedua hukum tersebut akhirnya berbenturan, salah satunya dalam hal perkawinan.
Dalam Undang-undang perkawinan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap –tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan sah jika dilangsungkan secara agama dan adat, walaupun tidak melalui prosedur Undang-Undang, akan tetapi keabsahannya juga sebatas menurut agama dan adat tersebut. Karena hukum adat bukan lah hukum perundang-undangan, walaupun sebagai hukum ia mendapat pengakuan sementara dalam aturan peralihan pasal II UUD 1945. Hukum Perundang-undangan selalu dalam bentuk tertulis (hukum tertulis), sedangkan hukum adat bukan hukum tertulis.[18]
Berdasarkan prinsip dalam Aturan Peralihan pasal II UUD 1945, UU berhak mengubah atau menghapuskan hukum adat, sebaliknya UU tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dan kepercayaan yang berketuhanan yang maha esa.[19]
Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Undang-Undang R.I sekarang Berdasarkan Undang-Undang R.I yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya. UU perkawinan No.1 tahun 1974, hanya mengatur tentang :[20]
1. izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
2. 2. umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2).
3. 3. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1).
4. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
Dengan demikian tidak ada ketentuan yang mengatur tentang "yang disebut belum dewasa dan dewasa" dalam Undang-undang ini.
Hukum membeda-bedakan antara orang yang belum dewasa dengan yang belum dewasa, hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing.
Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah:
1. Asas suka rela menurut pasal 6 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan harus didasari persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyaimaksud bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan darikedua calon suami-istri atau dengan kata lain tidak ada pihak yangmemaksa dari manapun.
2. Partisipan Keluarga.Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka peran orang tua atau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutamadalam hal pemberian ijin untuk melaksanakan perkawinan.
3. Perceraian dipersulit Ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang perceraianterdapat dalam pasal 39 dan 41 UU No 1 tahun 1974, disini dijelaskan bahwa pasangan suami-istri yang hendak bercerai tidak begitu sajadilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkanh baik bagidiri masing-masing dan juga bagi anak-anaknya, bagi yang sudahmempunyai anak.
4. Asas monogamiPenegasan asas monogami ini terdapat pada pasal 27 yang berbunyi Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami”.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur prinsip, bahwa calon suami dan istri itu telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Agar perkawinan tidak berakhir pada suatu perceraian harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih dibawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan maslah kependudukan, maka untuk mengerem laju kelahiran yang lebih tinggi harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih dibawah umur. Batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Undang- undang ini telah menentukan bahwa batas umur untuk kawin baik bagi wanita maupun bagi pria ialah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.
Dengan batas umur yang telah ditetapkan oleh undang-undang perkawinan bagi pria dan wanita untuk melakukan perkawinan, maka tujuan perkawinan dapat terwujud. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia ,kekal dan sejahtera. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.[21]
Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur.
Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Undang-undang perkawinan yang tidak menhendaki pelaksanaan perkawinan dibawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan dapat menjaga kesehatannya dan keterunannya, untuk itu perlu ditetetapkan batas-batas umur bagi calon suami dan istri yang akan melansungkan perkawinan.
Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Banyak alasan seseorang menikah di bawah umur karena wanita hamil akibat perilaku sex bebas, solusinya adalah orang tua mereka harus menikahkan mereka pada usia muda. Dan pada akhirnya banyak anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi Kawin dengan alasan hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas. Situasi semacam itu mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur karena banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat berkembangnya budaya sex bebas.
UU Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga Negara yang batas usianya belum mencukupi dengan Surat Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita (Psl 7 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1974). Pelaku dan para pihak yang terlibat dalam pernikahan dibawah umur akan sulit dikriminalkan tanpa melihat aspek sebab-sebab (alasan), proses dan tujuan dari pernikahannya.
Namun mencegah pernikahan dibawah umur dengan mengkriminalisasi pernikahan di bawah umur belum tepat karena beberapa alasan, yaitu
; 1) belum ada kekhawatiran kolektif (massal) akibat buruk pernikahan dibawah umur;
2) akan menafikan norma agama;
3) melawan beberapa budaya masyarakat Indonesia (seperti budaya masyarakat Karo, Sumut), dan bertentang dengan tradisi;
4) serta dapat bersifat resisten dengan perlindungan hak asasi manusia.
22 . Faktor-faktor Terjadinya Pernikahan Dibawah Umur
BAPPENAS melansir data bahwa pada tahun 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini. Walaupun tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Tingginya tingkat pernikahan dibawah umur tidak terlepas dari faktor hukum, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, menyangkut ;
1) norma agama (khususnya Islam) tidak mengharamkan atau menentang pernikahan di bawah umur dan tidak ada kriminalisasi terhadap pernikahan dibawah umur;
2) kebiasaan dan tradisi yang telah membudaya dalam masyarakat;
3) pernikahan atau perkawinan sebagai jalan untuk keluar dari belenggu kertepurukan ekonomi dan beban hidup;
4) kecenderungan berkembangnya pergaulan bebas remaja dan anak-anak.
Perkawinan dalam pandangan Islam adalah fitrah kemanusiaan, dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan), yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan sesat yaitu jalan setan yang menjerumuskan ke lembah hitam.
Perintah perkawinan atau pernikahan dalam Islam tertuang dalam Al-Qur’an (Kitabullah umat Islam) dan hadist Nabi Muhammad SAW. Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan batasan umur seseorang untuk melakukan pernikahan, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah ke-mudharat-an (hal-hal buruk).
Namun muncul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk boleh menikah, yang berimplikasi terhadap tidak ada keberatan atas pernikahan dibawah umur dari kaca mata ini. Hal ini, sangat relevan dengan hukum positif Indonesia (UU Perkawinan, KUHP dan UU Perlindungan Anak) yang tidak menegaskan sanksi hukum terhadap pernikahan di bawah umur.
Walaupun dalam pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, namun pernikahan dibawah umur tidak serta merta dipandang sebagai tindakan kriminal menurut hukum. Sementara itu, UU Perkawinan membeerikan dispensasi kepada pasangan yang belum cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan.
Dalam hal ini, hukum yang ada memberikan ruang bagi keberlangsungan praktek-praktek pernikahan di bawah umur. Dilihat dari segi budaya dan tradisi, terdapat beberapa daerah di Indonesia menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan tindakan yang biasa.
Dibeberapa daerah seperti kerinci, dan suku toraja dalam hokum adat tidak melarang pernikahan dibawah umur karena adanya kepercayaan bahwa “seorang anak perempuan yang sudah dilamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa berakibat si anak tidak laku (tidak dapat jodoh) kuatnya tradisi, salah satu penyebab pernikahan”,
Sementara di Indramayu, Jawa Barat muncul keyakinan untuk tidak menolak pinangan pertama kepada anak perempuan; di daerah Karo, Sumatera Utara terdapat tradisi menikahkan anak usia dini dengan tujuan mencegah mara bahaya dalam keluarga, namun bukan berarti setelah pernikahan diperboleh berkumpul layaknya suami-istri.
Apabila dilihat dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis terhadap pernikahan dibawah umur adalah faktor rendahnya pendidikan dan tingkat perekonomian. Sikap dan pandangan masyarakat membiarkan pernikahan dibawah umur, merupakan ekspresi dari ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun psikologis. Disamping itu, masyarakat beranggapan bahwa pernikahan dapat mengangkat persoalan ekonomi yang dihadapi, yang mana masyarakat dengan kondisi keterbatasan ekonomi lebih rentan menerima pernikahan di bawah umur tanpa tahu akibat ikutan dari anak yang menjalani pernikahan dibawah umur.
Kecenderungan meningkatnya pergaulan bebas oleh remaja dan anak-anak yang memiliki attitude (sikap) menerima atau menganggap wajar hubungan sex pra-nikah bahkan sex bebas. Walaupun pernikahan dibawah umur dengan budaya sex bebas merupakan yang memiliki latar belakang berbeda, karena kelompok penganut sex bebas cenderung menghindari pernikahan yang dianggap membatasi kebebasan, namun perilaku kelompok sex bebas akan berpengaruh terhadap masyarakat luas berupa merebaknya perilaku pergaulan bebas dan hubungan sex pra-nikah oleh seseorang yang bukan penganut sex bebas.
Banyak alasan seseorang menikah di usia muda karena wanita hamil akibat perilaku sex bebas, solusinya adalah orang tua mereka harus menikahkan mereka pada usia muda. Dan pada akhirnya banyak anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi Kawin dengan alasan hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas. Situasi semacam itu mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur karena banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat berkembangnya budaya sex bebas.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.
Namun UU No. 1 TAhun 1974 tentang perkawinan memberikan ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut
Walaupun perkawinan dibawah umur ada positifnya namun kenyataannya perkawinan dibawah umur lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Karena perkawinan yang dilakukan dibawah umur banyak yang berakhir pada suatu perceraian, oleh karena itu bagi calon pria dan wanita yang ingin melansungkan perkawinan harus memiliki kasiapan mental baik lahir maupun bathin agar tujuan perkawinan itu terwujud. Apabila dilihat dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis terhadap pernikahan dibawah umur adalah faktor rendahnya pendidikan dan tingkat perekonomian. Sikap dan pandangan masyarakat membiarkan pernikahan dibawah umur, merupakan ekspresi dari ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun psikologis. Disamping itu, masyarakat beranggapan bahwa pernikahan dapat mengangkat persoalan ekonomi yang dihadapi, yang mana masyarakat dengan kondisi keterbatasan ekonomi lebih rentan menerima pernikahan di bawah umur tanpa tahu akibat ikutan dari anak yang menjalani pernikahan dibawah umur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ust. Fatihuddin Abdul Yasin, 2006, Risalah Hukum Nukah. Surabaya,Terbit Terang,
2. Ensiklopedia Hukum Islam Jilid IV, PT Ikhtiar Baru Van Hoype, Jakarta 1996
3. Sudarsono. 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.
4. Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabea, Bandung.
5. Ny. Soemiyati. 2007. Hokum perkawinan islam dan Undang-undang Perkawinan. Liberty.
6. UU No.1 Tahun 1974
[1] Ust. Fatihuddin Abdul Yasin, 2006, Risalah Hukum Nukah. Surabaya,Terbit Terang, Hal : 15
[2] Ibid : Hal 16
[3] Ensiklopedia Hukum Islam Jilid IV, PT Ikhtiar Baru Van Hoype, Jakarta 1996
[4] ibid
[5] Ibid, Hal 1330
[9] Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabea, Bandung. Hal. 223
[10] Lihat pasal 7 ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974
[11] Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabea, Bandung. Hal.221
[12] Ibid. hal. 222
[13] Undang –undang No. 1 Tahun 1974
[14] Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabea, Bandung. Hal.221
[15] Ibid. hal. 226
[16] Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabea, Bandung. Hal.226
[17] Ibid. Hal.252
[19] Ibid. hal. 12
[21] Ny. Soemiyati. 2007. Hokum perkawinan islam dan Undang-undang Perkawinan. Liberty. Yogyakarta. Hal. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar